BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia pendidikan kita sering kali menjadi bahan perbincangan di kalangan banyak pihak terutama pada saat menjelang ujian akhir nasional (UN). Kenyataan ini bisa dibukti lewat media masa di mana banyak orang tua siswa dan siswa yang melakukan demonstrasi-demonstrasi di berbagai daerah di negara kita menentang adanya UN. Penolakan terhadap UN di kalangan masyarakat secara umum dan orang tua siswa dan siswa itu sendiri secara khusus, disebabkan adanya kekhuatiran dalam diri siswa bahwa mereka kemungkinan tidak lulus dalam UN. Kehuatiran akan ketidaklulusan dalam UN ini ternyata tidak hanya muncul pada orangtua siswa dan siswa sendiri, tetapi juga dirasakan oleh pihak sekolah, baik kepala sekolah maupun guru-guru mata pelajaran yang mata pelajarannya di-UN-kan.
Mengatasi kekhuatiran ini, maka muncullah tindakan-tindakan ‘tidak terpuji’ terutama dari pihak sekolah yang ‘kelihatannya’ membenarkan tindakan contek massal seperti yang diberitakan oleh beberapa media massa baru-baru ini. Kecurangan-kecurangan dalam UN ini, pada hemat penulis, terjadi disebabkan oleh tiga alasan utama. Pertama, UN merupakan ajang menguji reputasi sekolah. Sekolah yang peserta ujiannya lulus seratus persen apalagi dengan nilai yang sangat memuaskan selalu menjadi idola calon siswa-siswa baru. Sebaliknya sekolah yang peserta ujiannya banyak mengalami kegagalan cenderung tidak lirik oleh calon siswa-siswa baru. Kedua, ketika siswa tersebut gagaldalam UN, berarti bahwa pihak orang tua harus mengeluarkan biaya tambahan untuk satu lagi pendidikan anaknya yang bagi sebagian besar dari masyarakat kita merupakan beban berat yang harus ditanggung. Terakhir, pihak sekolah maupun siswa akan merasa malu jika mengalami kegagalan dalam UN.
Memang harus diakui bahwa membimbing siswa didik menuju gerbang UN yang sekaligus juga menghasilkan lulusan yang berkualitas tidaklah mudah karena sekolah sebagai satu sistem terdiri dari berbagai subsistem yang saling mendukung. Kepala sekolah sebagai salah satu subsistem dalam sekolah sangat penting menciptakan suasana dan budaya sekolah yang kondusif untuk belajar. Guru sebagai ujung tombak transformasi ilmu, nilai, budaya dan ketrampilan perlu memiliki kualitas yang tinggi. Kualitas guru yang dikendaki ini dapat dilihat jika sang guru memiliki empat kompetensi: pedagogi, kepribadian, sosial dan professional (UU no. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Hal-hal di atas ini kemudian diyuangkan secara detail dalam PP no. 19 tahun 2005 tentang Badan Standar Nasional Pendidikan yang membahas tentang delapan standar pendidikan nasional yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian yang kemudian diperjelas dalam bentuk peraturan-peraturan pemerintah tentang masing-masing standar tersebut.
Berbicara tentang guru, menurut Undang-undang Guru dan Dosen nomor 14 tahun 2005, seorang tenaga pendidik wajib memiliki empat kompetensi yaitu pedagogi, kepribadian, sosial dan profesional. Masing-masing kompetensi dijabarkan dalam beberapa indikator. Salah satu indikator kompetensi pedagogi yang harus dimiliki oleh seorang guru mata pelajaran adalah memiliki pemahaman terhadap peserta didik. Dalam konteks pemerolehan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau sebagai bahasa asing, yang tercakup dalam pemahaman terhadap peserta didik ini, menurut Dornyei (2005) dan Krahsen (1981) termasuklah kemampuan bahasa (language aptitude), kepribadian (personality), gaya belajar (learning style). Ellis (1997) menuliskan pemerolehan bahasa kedua dipengaruhi oleh faktor-faktor perbedaan individu seperti kemampuan bahasa, motivasi dan strategi belajar. Pendapat para ahli ini menunjukan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa sangat penting untuk dipertimbangkan.
Seorang guru pada umumnya dan guru bahasa Inggris pada khususnya, setelah dinyatakan berhak memiliki sertifikat pendidik, seyogyanya sudah memahami adanya perbedaan-perbedaan itu dan mampu menuangkan perbedaan-perbedaan itu, khususnya gaya belajar siswa, di dalam rencana program pembelajaran (RPP) mereka. Namun sangat disayangkan bahwa, berdasarkan pengalaman penulis ketika diminta untuk mewakili kepala sekolah melakukan supervisi pada guru-guru bahasa Inggris di sekolah penulis dan ‘micro teaching’ yang dilakukan pada kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Inggris (MGMP Bahasa Inggris), masih ada banyak di anatara mereka yang mengabaikan adanya perbedaan gaya belajar ini. Akibatnya adalah model pembelajaran yang berkembang pada saat pembelajaran berlangsung masih bersifat ‘teacher-centered’, di mana guru sangat dominan dalam proses pembelajaran tersebut. Peserta didik yang sebagian besar kegiatannya mendengar dan melihat gurunya aktif mengajar, duduk pasif. Situasi pembelajaran menjadi lesu dan agak membosankan.
Menurut Felder dan Henriques:
How much a given student learns in a class is governed in part by that student’s native ability and prior preparation but also by the compatibility of his or her characteristic approach to learning and the instructor’s characteristic approach to teaching.
(http://www4.ncsu.edu/unity/lockers/users/f/felder/public/Papers/FLAnnals.pdf)
Pernyataan ini membuktikan bahwa daya serap peserta didik bukan hanya ditentukan oleh faktor kemampuan lahiriah seorang siswa dan persiapan awal guru dalam menyajikan materi pelajaran tetapi juga dipengaruhi oleh pendekatan yang tepat terhadap gaya belajar siswa dan gaya mengajar seorang guru. Penulis berasumsi bahwa dengan mengakomodasi gaya belajar yang variatif dalam mereka proses pembelajaran dapat meningkatkan motivasi peserta didik untuk belajar bahasa Inggris. Apabila motivasi belajar telah muncul dalam diri peserta didik, maka proses pembelajaran akan berjalan dengan baik, mereka akan aktif berpartisipasi dalam proses tersebut yang pada akhirnya akan dapat meminimalisir rasa was-was mengikuti UN dan menghasilkan lulusan yang dapat diandalkan.
B. Ruang Lingkup
Tulisan ini membahas tentang pentingnya variasi kegiatan pembelajaran untuk mengakomodasi gaya belajar peserta didik yang berbeda-beda dapat meningkatkan motivasi belajar bahasa Inggris. Untuk membahas masalah ini, penulis mengajukan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Apakah gaya belajar siswa kelas akselerasi semester empat di SMA Negeri 3 Sengkang?
2. Bagaimana guru bahasa Inggris dapat mengakomodasi gaya belajar siswa akselerasi semester empat SMA Negeri 3 Sengkang yang berbeda-beda?
C. Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui gaya-gaya belajar siswa kelas akselerasi semester empat SMA Negeri 3 Sengkang. Setelah mengetahui gaya-gaya belajar siswa, penulis selanjutnya akan menyusun RPP yang mengandung berbagai kegiatan dan selanjutnya menelaah apakah kegiatan yang bervariasi itu dapat meningkatkan motivasi mereka belajar bahasa Inggris
No comments:
Post a Comment