Dunia pendidikan di
Indonesia dari tahun ke tahun semakin berkembang. Arah dari perkembangan dan
perubahan ini dimaksudkan untuk menciptakan manusia yang cerdas dan
meningkatkan kualitas guna mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera. Oleh negara, tujuan pendidikan nasional secara
rinci dituangkan dalam Undang-Undang Nomor
20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional. Salah satu subsistem pendidikan yang sangat
berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan seperti yang dimaksud di atas adalah
guru.
Menciptakan manusia
yang memiliki kualitas pendidikan yang tinggi tidaklah semudah membalikan
telapak tangan atau simsalabin dan
jadilah siswa yang mengetahui segala sesuatu yang diajarkan pada pertemuan itu.
Dr. Zamroni dalam Nursisto (2001:xxv) mengatakan bahwa
“Pendekatan konvensional
dalam peningkatan kualitas pendidikan yang bertumpu secara kaku pada paradigma
input-proses—output. Paradigma ini bersumberkan pada pendekatan fungsi produksi
(Production Function Approach).
Pendekatan ini menyatakan bahwa suatu output merupakan fungsi dari input.
Pendekatan fungsi produksi ini mendeskripsikan bahwa kaitan antara input
bersifat linear dan langsung mempengaruhi output dan cocok untuk produksi
barang”
Seorang
guru yang merupakan ujung tombak kemajuan pendidikan perlu mengetahui
komponen-komponen yang menunjang proses pembelajaran seperti motivasi belajar
siswa, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, dan proses pembelajaran karena
hal-hal ini saling bertautan.Seorang guru yang kurang atau tidak memahami
bagaimana memotivasi dan sekaligus mempertahankan motivasi ini menjadikan
siswa-siswanya pasif, lebih-lebih lagi jika tidak mengetahui apa tujuan dari
pembelajaran yang dilakukannya.
Kurikulum terbaru sekarang sangat
menuntut seorang guru yang professional mengelola kelasnya.Sejak dari penyusunan silabus mata pelajaran,
seorang guru sudah memiliki gambaran tentang materi pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, cara mengevaluasi pencapaian pembelajaran dan berapa lama materi
tersebut harus diajarkan.Ini sejalan
dengan Undang-Undang No 14 tentang Guru dan Dosen tahun 2005, pasal 1 ayat menyatakan
bahwa
“Guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah”.
Di era sekarang, profesionalisme
memang sangat dibutuhkan karena perubahan tatanan masyarakat dan perkembangan
teknologi daninformasi yang merambah
seluruh dunia. Daud Yusuf mengklasifikan tugas guru dalam tiga bidang memasukan
tugas professional di mana dalam tugas ini seorang guru bertugas untuk
“meneruskan atau menstramisikan ilmu, keterampilan dan nilai-nilai yang sejenisnya
yang belum diketahui oleh anak dan seharusnya diketahui oleh anak”. Seorang
guru yang bermasa bodoh dengan hal-hal ini dan tetap mempertahankan status quo-nya sebagai seorang penguasa
dalam kelas akan sangat sulit untuk mengaktualisasikan tugas tersebut di atas. Akibat yang timbul dari situasi seperti ini
adalah pembelajaran yang sangat pasif. Siswa yang semula datang ke sekolah
dalam keadaan yang bermotivasi menjadi tidak bermotivasi. Lalu, apa yang
tertransfer ke siswa? Dr. Zamroni dalam Nursisto (2008:xxv) mengatakan bahwa
karena metode yang diterapkan oleh guru tersebut sangat membosankan. Dan memang
tidak dapat disangkal bahwa guru-guru kita termasuk guru-guru bahasa Inggris
masih “menggunakan metode satu arah” seperti yang dilansir oleh ketua LPMP
Medan dalam satu wawancara yang dimuat oleh ANTARA/FINROLL News terbitan selasa, 03 November 2009. Hasilnya, menurut beliau adalah “kurangnya daya kreativitas
siswa”.
UNESCO dalam Changing Teaching Practice (2004:11) mengilustrasikan satu contoh
proses pembelajaran yang umum terjadi di Asia:
“Mrs. Kichwa,
plans to conduct a reading lesson in her class. She walks into her classroom
and meets her 80 students. Some of them are shouting at each other; others are
breaking pieces of chalk and throwing them; and others are quietly waiting for
the lesson to begin. She claps her hands and the students take out their
readers. Mrs. Kichwa asks the students what they read yesterday. When they tell
her, she asks them to go to the next story, Priscilla and the Butterflies. One
of the students who is the regular reader in her class, stands up and begins to
read this story. While the boy is reading, some students are still trying to
find their book, and others are still talking; many of the students have not
brought their reader. A few students are paying attention to the page of the
reader and listening to the boy read.
While this is
happening, Mrs. Kichwa is engaged in completing the attendance register and,
occasionally looks up and shouts at one or more students, “Hey, look at your
readers. I am going to ask some questions. All of those who do not answer the
questions correctly will have to stand out in the hall.”
Apa yang
dilakukan oleh Mrs. Kichwa juga dilakukan oleh sebahagian guru bahasa Inggris
di Indonesia. Ketika mengajarkan keterampilan membaca (reading) misalnya, si guru yang sudah mendistribusikan buku teks
kepada siswanya menyuruh membuka halaman tertentu, kemudian dibaca lalu
diterjemahkan sebagian. Sisa waktu yang ada kemudian digunakan untuk menjawab
pertanyaan yang tertera di bawah teks tersebut. Padahal tujuan pembelajaran itu
bukan untuk sekedar membaca lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada,
tetapi bagaimana seorang siswa mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Jadi
yang ingin ditransfer ke siswa adalah teknik menjawab pertanyaan, teknik
menjawab pertanyaan tentang gambaran umum teks tersebut (readiing for gist) dan teknik menjawab pertanyaan rinci (reading for details).
Inilah yang disebut oleh Zamroni di
atas sebagai metode konvensional yang membosankan. Maka terjadilah seperti apa
yang dikemukan oleh Jane Willis (1996:4) bahwa:
“In language
schools all over the world the largest group of students consist of people who
have studied English at school but who feel they know nothing and want to start
again. Many British school leavers have failed to learn French or German…..
Although many of them pass their examinations successfully… ”.
Tiap tahun ribuan bahkan jutaan siswa yang
menyelesaikan pendidikan mereka dari jenjang SMA dan tentunya telah belajar
bahasa Inggris selama 6 tahun (3 tahun pada jenjang SMP dan 3 tahun pada
jenjang SMA) namun sangat sedikit dari mereka yang mampu menggunakan bahasa ini
dalam berkomunikasi.
Kenyataan di atas merupakan tamparan
bagi guru-guru bahasa Inggris. Sebagai ujung tombak di medan pendidikan, guru
perlu mengubah strategi, pendekatan, metode dan teknik penyajian materinya agar
lebih hidup, lebih merangsang siswa belajar sehingga memacu motivasi yang seterusnya
memacu diri mereka untuk mengetahui dan menguasai materi diajarkan. Apabila hal
ini mampu diwujudkan dalam diri siswa, maka proses pembelajaran akan mudah.
Kurang atau tidak akan ada lagi siswa yang mengganggu siswa lainnya. Sudah
tidak ada lagi yang mengantuk atau memukul-mukul meja sambil bernyanyi di meja belakang.
Ini disebabkan karena siswa adalah pelaku proses pembelajaran dan telah
terbangun dalam dirinya kebutuhan untuk belajar. Untuk menuju ke arah ini,
seorang guru perlu pemahaman dan penguasaan yang mendalam tentang bagaimana
memotivasi siswa, teknik pembelajaran,materi
pembelajaran, merancang kegiatan pembelajaran dan mengevaluasi hasil
pembelajaran.
Pada kesempatan ini, penulis
tertarik untuk membahas tentang bagaimana merancang suatu kegiatan pembelajaran
(lesson plan) yang bersifat student-centered.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas, penulis
mengajukan permasalahan yang akan menjadi fokus pembahasan tulisan ini. Adapun
permasalahan adalah sebagai berikut: Bagaimana cara merancang model RPP yang bersifat student-centered?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan tulisan ini adalah
untuk membahas tentang cara merancang model RPP yang bersifat student-centered.
D. Manfaat Penelitian
Diharapkan bahwa tulisan ini memberi manfaat pada guru, siswa
dan sekolah.
1. Guru
Setelah membaca
tulisan ini, diharapkan bahwa guru bahasa Inggris memiliki gambaran bagaiamana
menyusun tahap-tahap kegiatan(lesson stage) dalam kelas.
2. Siswa
Siswa memiliki
motivasi untuk belajar dan dapat belajar sesuai dengan gaya belajar
masing-masing (learning style)
3. Sekolah
Sekolah dapat
menelorkan siswa yang mampu berbahasa Inggris.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Perencanaan Pembelajaran(Lesson
Planning)
Sebelum
penulis membahas lebih jauh tentang hal ini, penulis ingin memaparkan apa yang
dimaksud dengan perencanaanpembelajaransebagai batasan dari pembahasan tulisan
ini. Sebelum mengetahui makna dari pencanaan pembelajaran, tentu kita harus
mengetahui dulu apa itu perencanaan.
Menurut Herbert Simon (1996) perencanaan
adalah sebuah proses pemecahan masalah, yang bertujuan adanya solusi dalam
suatu pilihan. Gordon Rowland (1993) mengatakan bahwa perencanan bukan hanya
membantu untuk menciptakan solusi tapi juga membantu untuk lebih memahami
permasalahan itu sendiri, jadi sebuah usulan lebih diutamakan dibanding
informasi awal. Proses perencanaan menggiring kita untuk berfikir kembali atau
merangkai masalah kembali. Sabon (1987) berpendapat bahwa perencanaan membantu
kita melihat masalah dalam pemikiran yang baru, pandangan yang berbeda dari
yang lain, dan lebih baik dalam memahami masalah yang kompleks menjadi lebih
sederhana.
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, perencanaan berakar kata rencana yang membawa arti n1kl cerita; 2 rancangan; buram (rangka sesuatu yg
akan dikerjakan) kemudian mendapat
imbuhan pe dan –an yang membawa makna proses, cara, perbuatan
merencanakan (merancangkan) (http://pusatbahasa. diknas. go.id/
kbbi/index.php).
Jadi, kesimpulan yang dapat kita ambil dari pendapat
para ahli di atas adalah bahwa perencanaan merupakan suatu proses pemecahan
masalah untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
Sementara pembelajaran
didefinisikan sebagai:
“proses interaksi peserta didik
dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang
diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta
didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta
didik agar dapat belajar
dengan baik.
Pembelajaran
adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu
perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman
individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Dengan demikian perencanaan pembelajaran
dapat dimaknai sebagai proses membantu guru secara sistematik dan menganalisis
kebutuhan pelajar dan menyusun kemungkinan yang berhubungan dengan kebutuhan.Perencanaan pembelajaran adalah suatu rincian
hasil yang diinginkan sekaligus alat untuk melaksanakan aktivitas - aktivitas
pembelajaran demi tercapainya hasil (perubahan tingkahlaku) yang diharapkan
dalam periode tertentu. Perencanaan pembelajaran menunjukkan kegiatan -
kegiatan yang dilakukan guru yang menunjukkan bagaimana seharusnya siswa
diarahkan dalam mencapai tujuan yang diharapkan tersebut. Ia juga menunjukan
bagaimana interaksi proses pembelajaran dalam kelas.
B. Teacher-Centered
Versus Student-Centered
Secara umum metode pembelajaran
bahasa secara umum dan bahasa Inggris pada khususnya, dapat dibagi dalam dua model,
yaitu:
2.Metode yang berfokus pada siswa (student-centered)
1. Metode yang Berfokus Pada Guru (teacher-centered)
Dalam pembelajaran bahasa, terutama
bahasa Inggris, ada beberapa metode yang tergolong dalam tipe ini misalnya grammar translation method, direct method,
audio lingualism, dan behaviorism.
Mari kita lihat bagaimana dasar-dasar penyajian materi pelajaran dalam audio lingualism.
1. Structures
that are the focus of the lesson. They repeat each line of the dialog,
individually and in chorus. The teacher pays attention to pronunciation,
intonation, and fluency. Correction of mistakes of pronunciation or grammar is
direct and immediate. The dialog is memorized gradually, line by line. A line
may be broken down into several phrases if necessary. The dialog is read aloud
in chorus, one half saying one speaker’s part and the other half responding.
The students do not consult their book throughout this phase.
2. The dialog is
adapted to the students’ interest or situation, through changing certain key
words or phrases. This is acted out by the students.
3. Certain key
structures from the dialog are selected and used as the basis for pattern
drills of different kinds. These are first practiced in chorus and then
individually. Some grammatical explanation may be offered at this point, but
this is kept to an absolute minimum.
4. The students
may refer to their textbook, and follow-up reading, writing, or vocabulary
activities based on the dialog may be introduced.
5. Follow-up
activities may take place in the language laboratory, where further dialog and
drill work is carried out.
(Richards:2001,
64-65)
Berdasarkan
gambaran di atas, kita dapat melihat bahwa perencanaan pembelajaran dari metode
ini adalah:
a.Membaca dialog secara berulang-ulang (repetition)
b.menghafal (memorizing)
kalimat-kalimat dalam dialog
c.menirukan dialog yang diberikan (acting out a dialog)
d.pola struktur bahasa yang diajarkan dilatihkan secara
berulang-ulang (drilling)
e.Kegiatan yang
dilakukan oleh siswa selama proses ini hanyalah menghafal, menirukan dialog
(biasanya berdiri di depan kelas). Kemudian mengajarkan struktur bahasa,
seperti di bawah ini lewat latihan yang berulang-ulang (drilling ):
T: There’s a cup on the table … repeat.
S: There’s a cup on the table
T: Spoon
S: There’s a spoon on the table.
T: Book
S: There’s a book on the table
T: On the chair
S: There’s a bookon
the chair…. dan seterusnya
(Harmer, 2002:79)
Tahap berikut
(tindak lanjut kegiatan ini) adalah diperdengarkannya contoh teks mendengar (listening teks) dan siswa menemukan
kalimat-kalimat yang menggunakan pola yang telah dijelaskan.
Contoh lain
adalah grammar translation method.
Pada dasarnya, metode ini memiliki tahap kegiatan sebagai berikut:
a. studying written texts
b.
translating them into the students’ own language
c.
carrying out a study of grammar. There is little attention given to the use of
the spoken language.
Jadi ketika seorang guru mengajar dengan menggunakan
metode ini, rencana tahap pelajaran (lesson
stage) yang akan dilalui oleh siswa adalah:
a. membaca teks
yang mengandung struktur kalimat yang akan dibahas
b.
menerjermahkan teks tersebut ke dalam bahasa si pelajar
c. membahas struktur
kalimat. Bahasa lisan sangat minim. Perhatikan contoh berikut ini:
Guru mengatakan:
To perform the present perfect continuous tense, use the
auxiliary verb have plus the past participle of the verb the to be plus the
present participle (guru menulis pola kalimat di papan tulis: have/has + been + V-ing lalu menuliskan
contoh kalimat). You use the present
perfect tense to talk about activities that started in the past and continue to
the present, especially when you want to focus on the process it, or its
duration, for example … (guru menulis contoh lain di papan tulis)
Tahap
berikutnya:
Now, make sentences using the present perfect continuous
tense for these situations…
a.Jeff started
watching TV at 5.00. He has just switched the TV off. It is now 9.00 o’clock.
b.I first came to
live in this town 5 years ago. I’m still living here
c.Our company was
set up over 100 years ago. We manufactured bicycles then and we are still
manufacturing them.
Berdasarkan kedua contoh di atas dapat dilihat bahwa
siswa akan mengulang kegiatan-kegiatan (tasks)
yang bersifat monotoniniselama mereka belajar di sekolah. Jadi
tidak heranlah jika Dr. Zamroni mengatakan bahwa metode ini konvesional dan
sangat membosankan dan persis seperti apa yang dikemukan oleh Jane Willis seperti
dikutip sebelumnya dan Lucy Pollard (http://www.scribd.com/doc/26653215-14578401/Teaching-English-to-students)
yang belajar bahasa Perancis dengan menggunakan metode mengatakan“I learnt French through this method and
whilst I was able to read and translate complicated texts, I was unable to buy
a loaf of bread when I went on holiday to France”.
Metode pembelajaran yang berfokus
pada guru ini menempatkan siswa sebagai objek, sementara Watkins (2005:9) mengatakan
sebagai “empty vessels (tong kosong) yang
siap diisi oleh gurunya dengan ilmu. Ketika guru masuk ke kelas, semua siswa
harus duduk dengan tenang mendengarkan penjelasan sang guru. Siswa hanya
memproduksi kalimat persis seperti yang diajarkan. Dengan metode ini, jelas
terlihat bahwa persentase waktu bicara guru (teacher talking time/TTT) lebih besar daripada waktu bicara siswa (student talking time/STT). Ini
disebabkan karena cara utama penyajian materi adalah dengan menggunakan
ceramah. Oleh sebab itu, kemampuan daya serap siswa sangat bergantung kepada
menarik tidaknya guru tersebut menyajikan materinya di samping kedalaman
pemahaman guru terhadap materi tersebut.
Singkatnya,
ketika guru merancang RPP-nya dengan metode techer-centered,
yang sangat aktif dalam kelas ketika berlangsungnya pembelajaran adalah guru.
2. Metode yang Berfokus Pada Siswa (student-centered)
Paradigma
pembelajaran bahasa kemudian berubah. Banyak pakar metodologi pengajaran mulai
mempertanyakan keampuhan metode di atas. Mereka beranggapan bahwa siswa tidak
lagi bisa dianggap sebagai objek atau tong kosong yang selalu bergantung kepada
guru, menunggu instruksi guru, persetujuan guru, koreksi dari guru, nasehat
dari guru maupun pujian dari guru. Siswa harus menjadi subjek atau pelaku
pembelajaran sedangkan guru berfungsi sebagai controller, organizer, observer, participant, prompter, tutor,
resource, and assessor (Harmer, 2002:72-77)
Metode
pembelajaran yang berfokuskan siswa antara lain adalah task based learning, suggestopaedia, silent way, communicative language
learning (communicative approach) dan yang sering didengungkan sekarang, contextual teaching and learning (seterusnya
disebut CTL).
Mari kita lihat
bagaimana tahap kegiatan proses pembelajaran dalam task based learning. Willis (2003:52) menggambarkan tahapan proses
belajar dengan task based learning yang dipopulerkan oleh N. Prabhu sebagai
berikut:
Pre
task
Introduction
to the topic
and
task
Task
cycle
Task
Planning
Report
Language
focus
Analysis
Practice
Kegiatan yang digunakan
oleh Prabhu dalam memperkenalkan topik pelajaran (Introduction to the topic and task) misalnya adalah
mengkalsifikasikan kata dan frase (classifying
words and phrases), menemukan yang aneh, (odd one out), menjodoh kata/frase dengan gambar (matching words/phrases to pictures),
curah pendapat (brainstorming),
permainan (games). Kegiatan-kegiatan
ini dilakukan secara individu (individual
work), berpasangan (pair work),
kelompok kecil/besar (small/big
groupwork), secara keseluruhan siswa dalam kelas (whole class activity).
Sementara
dalam tahap task cycle, siswa diminta
bekerja secara berpasangan atau kelompok untuk merampungkan kegiatan tersebut.
Kegiatan-kegiatan inibisa berupa
dialog, diskusi kelompok, role play
dan lain-lain bergantung kepada keterampilan apa yang diajarkan pada pertemuan
itu. Laporan kelompok dapat dilakukan dengan presentasi lisan (oral presentation) atau tertulis (written presentation)
Pada
tahapan language focus, siswa diberikan
teks bacaan atau mendengar yang mengandung target bahasa yang telah dilakukan
sebelumnya.
Kita
dapat melihat bahwa pelaku utama dalam proses pembelajaran ini adalah siswa.
Siswa mulai terlibat dalam proses pembelajaran sejak kelas di mulai (introduction) hingga kelas berakhir (language focus). Ini menunjukkan bahwa
presentase student talking time/STT jauh lebih besar daripada teacher
talking time/TTT.
Contoh lain dari metode
yang mengedepankan siswa dalam proses pembelajaran adalah CTL. Menurut
Depdiknas ( 2003 : 5 ) ” Kontekstual (Contextual
Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan perencanaan dalam
kehidupan mereka sehari – hari ”. CTL memiliki tujuh asas yaitu; constructivism (konstuktivisme), inquiry (inkuiri), questioning (bertanya),
learning community (masyarakat belajar),
modeling (pemodelan), reflection (refleksi), dan authentic assessment (penilaian nyata). Jika diteliti secara
mendalam asas-asas CTL di atas, metode ini akan mengaktifkan siswa dari dua
sisi. Yang pertama, aktif secara mental dan yang kedua aktif secara fisik.
Proses mengkonstruksi apa yang diketahui dan apa yang baru dipelajari
membutuhkan proses mental, begitu juga dengan inkuiri dan bertanya. Apa yang
perlu ditanyakan perlu dipertimbangkan secara matang, jangan sampai siswa hanya
bertanya hal-hal yang tidak bertautan. Sedangkan keaktifan fisik diperlukan
dalam mencari informasi atau pengetahuan baru tersebut yang mungkin bisa
dilakukan lewat kerja kelompok, berpasangan, role play, interview dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan pembelajaran
ini sangat berkaitan dengan gaya belajar siswa (learning style). Untuk mewujudkan agar kedua hal tersebut berjalan
seimbang, maka guru sangat perlu berhati-hati dalam merancang tahapan-tahapan
proses pembelajaran.
Dalam pendekatan kontekstual, perencanaan pembelajaran model CTL akan melaluistrategi berikut:
Maka, dalam metode ini, siswa
sebagai sebagai suatu individu mendapat perhatian yang tinggi dan oleh
karenanya semua kegiatan yang dirancang oleh guru dalam RPPnya mengarah kepada
bagaimana siswa belajar secara aktif.
C. Pembelajaran siswa aktif
Kalau diteliti dari kedua metode
pembelajaran di atas, maka metode kedua adalah metode pembelajaran yang mampu
membuat siswa belajar aktif karena peran mereka sangat besar dalam mencapai
tujuan pembelajaran. Proses pembelajaran dengan siswa aktif bukan sekedar suatu
kegiatan untuk mentransferkan ilmu (kognitif) tetapi juga nilai-nilai (afektif)
dan keterampilan (psikomotor). Pembelajaran jenis ini juga tidak hanya mengarah
kepada “belajar tentang” (learning about
things). Jika ketiga ranah ini terwujud dalam proses pembelajaran maka
proses pembelajaran tersebut telah memenuhi lima paradigma baru pendidikan yang
direkomendasikan oleh UNESCO. Kelima paradigma tersebut adalah learning to know, learning to do, learning
to be, learning to live together dan
learning throughtout life. Dalam konteks learning to know, guru berubah fungsi dari sebagai penyedia
informasi (information supplier)
menjadi fasilitator. Peserta didik dimotivasi sedemikian rupa sehingga timbul
keinginan untuk mempelajari sesuatu.
Learning
to do mengisyaratkan bahwa seorang guru harus mampu membimbing siswa
untukmelakukan sesuatu untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Siswa dituntut untuk aktif positif daripada aktif negatif.
Dalam metode pembelajaran siswa
aktif kedua hal di atas dapat melalui kegiatan-kegiatan seperti role play,
kelompok kecil maupun besar, interview dan segala bentuk interaksi yang
melibatkan orang lain akan melatih siswa untuk learning to live. Model-model pembelajaran ini akan melatih siswa
untuk menumbuhkembangkan sifat-sifat menghargai pendapat, belajar mendengar,
sportivitas yang kesemuanya merupakan nilai-nilai yang sangatdibutuhkan dalam hidup bermasyarakat.
Apabila keempat proses pembelajaran
di atas telah terbentuk dalam diri siswa, mereka akan merasa haus terhadap
fenomena-fenomena di sekeliling mereka. Ini mendorong siswa untuk terus belajar
sepanjang hayat, di mana dan kapanpun. Inilah learning throughout life.
Untuk mengimplemetasikan paradigma
baru di atas, perencanaan RPP oleh guru bahasa Inggris sangat perlu
memperhatikan tujuan pembelajaran, karakteristik siswa, kegiatan pembelajaran,
lingkungannya dan lain-lain hal yang sangat berperan besar dalam menyukseskan
proses pembelajaran di kelasnya.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Metode Penulisan
Metode penelitian dalam membahas
masalah ini adalah melalui kajian pustaka. Artinya, penulis berusaha mencari
refrensi-refrensi yang relevan dengan topik bahasan lalu mengkaji bahan-bahan
tersebut. Sesungguhnya terdapat banyak komponen yang harus dipertimbangkan
ketika guru sedang merancang RPP misalnya, media pembelajaran, alokasi waktu,
di mana mendapatkan sumber materi, pola interaksi, cara mengevaluasi hasil
pembelajaran namun karena keterbatasan waktu dan kemampuan penulis maka pada
bahagian ini penulis akan membahas bagaimana merancang kegiatan dalam RPP yang
bersifat student-centered.
B. Merancang Kegiatan dalam RPP
Segala kegiatan yang dilakukan oleh
seorang dalam satu kali pertemuan sangat penting karena akan menentukan apakah
proses pembelajaran pada pertemuan tersebut bermakna atau tidak bagi siswa,
apakah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siswa dapat membantu siswa
mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan dalam RPP sehingga siswa
keluar dari kelas dengan membawa input +
1. Artinya, kegiatan-kegiatan yang dipilih dan dituliskan dalam RPP adalah
kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh siswa, bukan apa yang akan dilakukan
oleh guru sehingga pengetahuan atau ketrampilan berbahasa mereka bertambah. Hal-hal
yang sangat penting untuk difikirkan oleh guru dalam penyusunan kegiatan dalam RPP
adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Pembelajaran (Lesson Aim)
Hal pertama yang
menjadi pertimbangan seorang guru dalam memilih atau menentukan kegiatan yang
akan dilakukan oleh siswa nantinya adalah tujuan pembelajaran karena dalam
tujuan pembelajaran ini jelas terlihat dalam konteks apa siswa akan mempelajari
materi/bahan ajar. Apabila guru telah mengetahui konteks pembelajaran maka dia
dapat membayangkan kegiatan-kegiatan apa yang akan dipilih untuk dipraktekkan
oleh siswa yang tentunya kegiatan-kegiatan tersebut nyata dalam kehidupan
sehari-hari siswa.
2. Kegiatan Siswa
Secara umum, kegiatan dalam proses
pembelajaran di kelas dapat dibagi tiga: kegiatan awal, inti dan akhir. Dalam
kegiatan awal, selain dari mengecek kehadiran siswa, memberi motivasi atau
apersepsi, kegiatan pengantar (lead-in
activity) untuk membawa siswa masuk ke dalam topik pelajaran sangat
penting. Ketika kegiatan awal yang ditentukan ternyata tidak mampu mengantar
siswa ke dalam topik pelajaran, maka sepanjang pembelajaran berlangsung, siswa
seolah-olah berada di luarkotak atau
menjadi penonton di kelas (meskipun secara fisik siswa itu berada dalam kelas).
Akibat yang timbul dari kejadian ini adalah siswa tersebut akan menimbulkan
masalah (trouble maker) sehingga bisa
mengganggu kedisiplinan kelas.
Kegiatan inti atau kegiatan utama adalah
kegiatan-kegiatan yang diatur sedemikian rupa sehingga siswa dapat
mempraktekkan target bahasa yang sedang dipelajari. Kegiatan inti dapat dibagi
dalam dua bentuk, yaitu very controlled
practice dan less controlled practice.
Guru harus yakin bahwa siswa berhasil melalui tahap karena akan menjadi tolok
ukur untuk kegiatan berikut.
Kegiatan akhir adalah kegiatan di
mana siswa dapat mempraktekkan target bahasa yang telah dipraktekkan pada tahap
kedua di atas secara bebas. Kegiatan ini juga biasa disebut personalization atau production. Pada tahap ini, siswa menggunakan target bahasa secara
bebas sesuai dengan pengalaman nyata mereka dalam kehidupannya, artinya siswa
mengkontekstualkan materi pelajaran tersebut. Pada tahap ini juga guru dapat
meng-asses siswa yang sudah menguasai
target bahasa dan yang tidak.
Jadi, setiap kegiatan yang dipilih
adalah merupakan suatu bagian kegiatan yang saling menunjang dalam pencapaian
tujuan pembelajaran. Perlu kehatian-hatian dalam menyusun kegiatan-kegiatan
ini, jangan sampai kegiatan yang pertama menjadi kegiatan kedua atau ketiga.
Jika hal ini terjadi, proses pembelajaran akan menjadi pincang.
Memilih kegiatan juga perlu
dipertimbangkan tingkat kesulitan kegiatan bagi siswa, apakah kegiatan-kegiatan
itu too challenging atau not challenging. Kegiatan-kegiatan yang too challenging akan membuat siswa
frustasi dan ini menyebabkan mereka kehilangan motivasi belajar. Waktu yang
dibutuhkan juga akan lebih lama sehingga kegiatan-kegiatan berikut
terbengkalai. Sebaliknya, kegiatan-kegiatan yang not challenging akan dengan cepat diselesaikan. Dampaknya, masih
banyak waktu yang tersisa sebelum bel berbunyi. Siswa yang sudah selesai juga
akan melakukan kegiatan lain yang bisa menggangu kelas. Jadi, kegiatan-kegiatan
yang dipilih sebaiknya challenging
bagi siswa.
Perhatikan contoh RPP berikut ini:
Main
aim: by
the end of the lesson the students will be better able to use phrases to talk
about ‘likes’ in the context of talking about a favourite sport.
Stage
Time
Activity
Procedure
Aim/Reasons
for doing this
Interaction patterns
1
0-2
Miming and speaking
ask: what am I doing?
The teacher mimes playing squash.
Students guess the sport and ask 3
questions. E.g. How often do you play/Why do like it? Who…?
To introduce the topic of favourite
sports in a fun, memorable way.
(T-Ss)
(Sts- T)
2
3-7
Speaking in pairs
Sts work in pairs and do the same
activity as in stage 1 - but chose a sport they enjoy playing or watching.
To get the students moving around and
provide a brief fluency task by letting them ask any questions they want.
(St-St)
3
8-11
Reading
Give 2 short texts about someone’s
favourite sport. A & B have different texts.
Find out from each other:
What is the sport?
Why does this person enjoy this sport?
Do you agree with how the writer
feels?
To provide some practice of reading
for main ideas and specific information.
Reading alone
(St-St)
4
11-14
Focus on vocabulary
Students look again at the texts and
underline examples of phrases that show you like something.
Compare findings with partner
To focus attention on phrases for
talking about likes.
(St-St)
5
15-20
Focus on grammar
Students put phrases to use in gapped
text
To focus attention on the grammar
associated with phrases for talking about likes.
(St-St)
6
20-35
Writing
Write a short
text explaining why you like a certain sport
To consolidate language exposed to in
the lesson.
Writing
alone
(Communicative English language teacher training, module 2:
5)
Tujuan pembelajaran di
atas adalah mengungkapkan rasa suka (like).
Konteks pembelajaran adalah olah raga favorit (favourite sport). Konteks olah raga adalah konteks yang umum
dialami oleh siswa dalam hidup mereka.
Kegiatan
pengantar (lead-in) adalah dengan
peniruan gerakan (mime). Meniru-niru
gerakan sesuatu biasanya agak lucu sehingga bisa membuat seseorang tertarik
perhatiannya. Ini kemudian dilanjutkan dengan menanyakan beberapa pertanyaan
untuk membawa siswa ke lebih dalam topik pelajaran. Setelah guru memberikan
model, pada tahap berikut, siswa diminta untuk melakukan kegiatan itu sendiri
namun secara berpasangan. Ini memberikan kesempatan yang lebih besar kepada
mereka untuk menggunakan bahasa Inggris. Kegiatan ini challenging karena untuk melakukan kegiatannya, dibutuhkan
keberanian untuk berakting, kemampuan bertanya dan menjawab pertanyaan.
Pada
tahap berikut siswa secara berpasangan diberikan teks yang berbeda pada setiap
pasangan. Ini akan menimbulkan rasa ingin tahu siswa A terhadap siswa B dan
sebaliknya. Maka terjadilah tanya jawab. Kemudian siswa diminta menemukan
kalimat-kalimat yang dipakai untuk mengungkapkan rasa suka. Jawaban-jawaban
mereka kemudian dibanding. Setelah guru mencek jawaban siswa, ungkapan-ungkapan
itu kemudian diaplikasikan dengan mengisi kalimat-kalimat rumpang dalam teks
yang diberikan pada tahap berikutnya. Kegiatan ini ditutup dengan meminta siswa
untuk menulis tentang olah raga favorinya.
Dapat
dilihat dari contoh RPP di atas bahwa proses kegiatan dimulai dari tahap
pengenalan menuju ke praktek dan diakhiri dengan personalisasi atau produksi.
Sejak proses pembelajaran dimulai, siswa sudah dilibatkan secara intensif. tidak
ada satu kegiatan pun yang sia-sia karena setiap kegiatan menunjang kegiatan
berikutnya untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran.
3. ESA
Dalam penyusunan RPP
mata pelajaran bahasa Inggris, Callum Robertson dan Richard Acklam (http://www.scribd.com/doc/3272225/Action-plan-for-teaching-eng)
mengatakan bahwa ada tiga elemen yang harus hadir dalam benak guru, yaitu: engaged, study, activate (ESA). Elemen
pertama, engaged, bermakna siswa
tertarik terhadap mata pelajaran, kegiatan pembelajaran dan materi pelajaran.
Elemen ini sangat penting karena hanya siswa yang tertarik secara emosional
terhadap sesuatu akan belajar lebih baik (Harmer, 2002:83)
Elemen kedua, study. Dalam setiap proses pembelajaran
bahasa Inggris, pasti ada sesuatu yang perlu dipelajari oleh siswa, misalnya
bagaimana membentuk frase kata sifat, membuat kalimat pasif, organanisasi teks narrative, procedure dan lain-lain.
Elemen ketiga, activate. Kegiatan-kegiatan yang
direncanakan harus mampu mengaktifkan siswa karena sekedar diberitahu saja
tidaklah cukup untuk siswa menguasai materi pelajaran tersebut.
Stage
Time
Activity
Procedure
Aim/Reasons
for doing this
Interaction patterns
1
0-2
Miming and speaking
ask: what am I doing?
The teacher mimes playing squash.
Students guess the sport and ask 3
questions. E.g. How often do you play/Why do like it? Who…?
To introduce the topic of favourite
sports in a fun, memorable way.
(T-Ss)
(Sts- T)
2
3-7
Speaking in pairs
Sts work in pairs and do the same
activity as in stage 1 - but chose a sport they enjoy playing or watching.
To get the students moving around and
provide a brief fluency task by letting them ask any questions they want.
(St-St)
3
8-11
Reading
Give 2 short texts about someone’s
favourite sport. A & B have different texts.
Find out from each other:
What is the sport?
Why does this person enjoy this sport?
Do you agree with how the writer
feels?
To provide some practice of reading
for main ideas and specific information.
Reading alone
(St-St)
4
11-14
Focus on vocabulary
Students look again at the texts and
underline examples of phrases that show you like something.
Compare findings with partner
To focus attention on phrases for
talking about likes.
(St-St)
5
15-20
Focus on grammar
Students put phrases to use in gapped
text
To focus attention on the grammar
associated with phrases for talking about likes.
(St-St)
6
20-35
Writing
Write a short
text explaining why you like a certain sport
To consolidate language exposed to in
the lesson.
Writing
alone
Merujuk kembali kepada
contoh RPP di atas, kegiatan 1 (guru meniru atau miming, gerakan satu jenis olah raga) dan 2 (siswa meniru gerakan
satu jenis olah raga) dipakai sebagai kegiatan untuk membuat siswa tertarik
secara emosional (engaged). Miming dapat dalam konteks ini sangat
tepat karena meniru-niru gerakan dapt menimbulkan kelucuan sehingga siswa akan
tertawa gembira. Emosi gembira ini mampu membuat siswa tenggelam dalam topic
pelajaran. Kegiatan ketiga (membaca teks di mana masing-masing siswa A dan B
memiliki teks yang berbeda) akan menimbulkan keingintahuan tentang teks
tersebut sehingga mengetahui apa isi teks tersebut mereka diharuskan untuk
saling bertanya jawab dan kegiatan keempat (menemukan ungkapan like). Kedua proses kegiatan tersebut
membutuhkan kemampuan kognitif untuk memproses informasi yang diperoleh. Pada
tahap ini siswa sedang mempelajari target pelajaran (study). Kegiatan kelima (siswa melengkapi kalimat rumpang) dan
keenam (menulis) berfungsi untuk member kesempatan kepada siswa menggunakan
target pelajaran (activate).
Jika ketiga elemen ini
hadir pada saat penyusunan tahap-tahap pembelajaran maka siswa akan belajar
secara aktif baik fisik maupun mental seperti yang dikemukan sebelumnya dalam
metode CTL.
4. Gaya Belajar Siswa (Learning Style)
Apa
yang dimaksud dengan gaya belajar? Spratt (2005:52) mengatakan bahwa “learning styles are the ways in which a
learner naturally prefers to take in, process and remember information and
skill”. Definisi lain dari gaya belajar adalah “Basically, your learning style is the method that best allows you to
gather and use knowledge in a specific manner” (http://www.scribd.com/doc/15242940/Understan ding-Learning-Styles).
Secara umum gaya belajar berarti cara seorang siswa ikut terlibat, memproses
dan mengingat informasi atau keterampilan. CTL adalah satu metode pembelajaran
yang sangat memperhatikan perbedaan setiap individu.
Mengapa
perlu memahami gaya belajar siswa?
Understanding
your particular learning style and how to best meet the needs of that learning
style is essential to performing better in the classroom. Once you have
unlocked your learning style and discovered the best methods for helping you to
learn through that style, you my be surprised to discover just how well you can
flourish in the classroom, even in subjects that you previously found
difficult.
Singkat kata,
pengetahuan guru tentang gaya belajar akan sangat sangat membantunya dalam merancang
proses pembelajaran yang dapat mensinkronkan gaya belajar siswa sehingga siswa
dapat menemukan, memproses dan mengingat informasi dan keterampilan tersebut secara
maksimal.
Secara umum, Spratt (2005:52) membagi
gaya belajar siswa dalam tujuh bentuk: visual,
auditory, kinesthetic, group, individual, reflective, dan impulsive. Menurut Brown (2000:112-122)
gaya belajar terdiri atas field
independent, field dependent, ambiguity tolerance, reflective, impulsive,
visual dan auditory. Namun secara
umum banyak pakar pendidikan yang mengatakan bahwa gaya belajar terbagi kepada tiga
yaitu: visual, auditory dan kinesthethic. Penulis, pada kesempatan
ini akan membahas empat jenis gaya belajar siswa yaitu, visual, auditory, individual
dan kinesthethic.
Setiap individu
memiliki gaya belajar yang berbeda tetapi ini tidaklah berarti bahwa individu
tersebut hanya memiliki satu dari gaya belajar tersebut. Misalnya siswa A
mungkin saja memilki kombinasi gaya belajar kinesthetic
dan visual tetapi yang lebih
dominan dalam dirinya kinesthetic.
Siswa
yang dominan dengan gaya belajar visual
adalah siswa yang senang melihat sesuatu dan senang menulis.
Visual
learners have a tendency to describe everything that they see in terms of
appearances. These learners love visual aids such as photos, diagrams, maps and
graphs. Visual learners frequently are good writers and will commonly perform
quite well on written assignments.
Artinya, ketika guru menyajikan materi pelajaran
hanya dengan berceramah mulai dari menit pertama hingga bel berbunyi, siswa
yang bertipe ini akan merasa jenuh atau bosan dengan pelajaran karena prinsip
mereka adalah “show me and I will learn”.
Maka guru dalam rancangan RPPnya sebaiknya
menggunakan media seperti gambar,diagram, peta, flash cards dan
realia. Mereka tanggap terhadap kegiatan yang diperagakan karena berangkat dari
model yang mereka lihat. Selain dari itu, siswa yang bertipe seperti ini juga
senang mencatat pelajaran sehingga dari catatan mereka dapat memproses materi
tersebut.
Siswa yang gaya belajarnya auditory senang mendengar.
Auditory
learners are very good listeners. They tend to absorb information in a more
efficient manner through sounds, music, discussions, teachings, etc. These
individuals will be more likely to record lectures so that they can replay them
at a later time for study purposes
Jadi mereka akan mengolah informasi atau
keterampilan itu dengan baik melalui suara, music, diskusi dan ceramah. Ketika
mereka mendengar mereka sangat senang menulis apa yang didengar. Mereka juga suka
membaca nyaring. Ketika berdiskusi mereka adalah pendengar yang baik dan ketika
menjelaskan mereka akan memberikan penjelasan yang panjang lebar. Prinsip
mereka adalah “explain to me and I will
learn”
Maka guru dalam
rancangan RPPnya sebaiknya menciptakan kegiatan yang bisa membuat kelompok
siswa ini mendengar misalnya dengan berdialog, diskusi, kaset, mendengar pidato.
Siswa yang memiliki gaya belajar kinesthetic senang bergerak-gerak,
menyentuh sesuatu dengan tangannya. Kegiatan yang direncanakan membutuhkan
gerakan mereka sangat proaktif. Mereka sangat senang mendemonstrasikan sesuatu.
Prinsip mereka adalah “let me move and I
will learn”
Oleh karena itu guru
perlu menyiapkan kegiatan yang membuat mereka bisa bergerak. Kegiatan-kegiatan
ini berupa demonstrasi, board games,
running dictation, miming, mingle activity dan lain-lain.
Gaya belajar individual adalah gaya belajar yang senang melakukan sesuatu tanpa
bantuan orang lain. Baharin abu cs mengatakan,
“Terdapat
individu yang suka belajar sendirian dan tidak mahu gangguan sewaktu mereka
belajar. Mereka lebih selesa berbanding mereka belajar dengan rakan sebaya
karena kurang membuang waktu untuk bercakap dengan teman sebaya menyebabkan
tidak dapat menumpukan terhadapa pelajaran”
Maka
kegiatan-kegiatan individu seperti melengkapi kalimat, menulis surat kepada
teman sebaiknya disiapkan dalam RPP.
Lalu bagaimana memenuhi gaya belajar
siswa? Jawabnya hanya satu, variasikan kegiatan dalam kelas.
Mari kita lihat
kembali bagaimana RPP di atas mengakomodasi gaya belajar siswa yang beragam
ini.
Stage
Time
Activity
Procedure
Aim/Reasons
for doing this
Interaction patterns
1
0-2
Miming and speaking
ask: what am I doing?
The teacher mimes playing squash.
Students guess the sport and ask 3
questions. E.g. How often do you play/Why do like it? Who…?
To introduce the topic of favourite
sports in a fun, memorable way.
(T-Ss)
(Sts- T)
2
3-7
Speaking in pairs
Sts work in pairs and do the same
activity as in stage 1 - but chose a sport they enjoy playing or watching.
To get the students moving around and
provide a brief fluency task by letting them ask any questions they want.
(St-St)
3
8-11
Reading
Give 2 short texts about someone’s
favourite sport. A & B have different texts.
Find out from each other:
What is the sport?
Why does this person enjoy this sport?
Do you agree with how the writer
feels?
To provide some practice of reading
for main ideas and specific information.
Reading alone
(St-St)
4
11-14
Focus on vocabulary
Students look again at the texts and
underline examples of phrases that show you like something.
Compare findings with partner
To focus attention on phrases for
talking about likes.
(St-St)
5
15-20
Focus on grammar
Students put phrases to use in gapped
text
To focus attention on the grammar
associated with phrases for talking about likes.
(St-St)
6
20-35
Writing
Write a short
text explaining why you like a certain sport
To consolidate language exposed to in
the lesson.
Writing
alone
Kegiatan 1: Ketika guru meniru gerakan permainan squash dan mengemukakan beberapa
pertanyaan, siswa yang bergaya belajar visual
dan auditory sangat aktif pada tahap
ini. Tetapi tidak berarti bahwa siswa akan tertinggal pada tahap ini karena
mereka secara otomatis menggunakan gaya belajar yang kedua dominan dalam
dirinya. Yang sangat penting adalah semua siswa telah tertarik dengan topik
yang dibawakan.
Kegiatan 2:Siswa
diberikan kesempatan untuk bekerja berpasangan dan berbuat seperti apa yang
telah dicontohkan sebelumnya. Kegiatan ini tentunya membutuhkan gerakan-gerakan
fisik. Yang sangat aktif mendemonstrasikan kegiatan ini biasanya dari kelompok
siswa yang memiliki gaya belajar kinesthethic.
Kerja berpasangan ini sangat mebantu pula dalam kelompok auditory dan visual.
Kegiatan 3:Sekali
lagi siswa bekerja berpasangan lalu diberikan teks yang berbeda. Masing-masing
siswa membaca teksnya sebelum bertanya jawab. Siswa yang bertipe individual dan visual mula memproses informasi-informasi tentang teks tersebut dan
ketika bertanya jawab gaya belajar auditory
dan kinesthethic sangat difungsikan.
Kegiatan 4:Pada tahap
ini, siswa diminta untuk membaca secara teliti tentang teks tersebut dan
menemukan ungkapan-ungkapan like.
Siswa dengan gaya belajar individual
akan aktif pada tahap ini, begitu juga dengan visual karena biasanya siswa yang bergaya visual senang memberikan suatu kode tertentu, misalnya dengan
menggaris bawahi atau membundari informasi yang diminta. Ketika diminta untuk
membandingkan jawaban atau temuan mereka, siswa auditory akan sibuk menjelaskan jawaban mereka. Siswa yang kinesthethic akan menggunakan
gerakan-gerakan tangan untuk membantunya dalam penjelasan.
Kegiatan 5:Melengkapi
kalimat/teks rumpang. Siswa dengan gaya individual
dan auditory sangat senang dengan
kegiatan ini karena siswa kelompok yang disebut tidak terganggu dari siswa lain
sementara yang kedua senang menulis kembali apa yang telah dipelajari.
Kegiatan 6: menulis paragraf secara individu. Sekali lagi
siswa dengan tipe individual dan auditory learning sangat senang dengan
kegiatan ini.
Jadi dapat dilihat dari RPP di atas
bahwa dengan bervariasinya kegiatan yang direncanakan akan sangat membantu
siswa dalam memproses informasi atau keterampilan yang sedang dipelajari. Dapat
juga disimpulkan bahwa RPP ini mampu membuat siswa menjadi aktif mulai dari
menit-menit awal hingga menit-menit terakhir pembelajaran. Inilah RPP yang
bersifat student-centered.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab
sebelumnya dapat disimpulkan bahwa:
1. merancang RPP yang bersifat student-centered adalah merancang kegiatan-kegiatan pembelajaran
dalam kelas yang membuat siswa dalam kelas tersebut aktif melakukan
kegiatan-kegiatan pembelajaran yang memperhatikan tujuan pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, ESA dan gaya belajar
siswa perlu diperhatikan dalam merancang RPP yang bersifat student-centered.
2. RPP yang dirancang dengan memperhatikan siswa adalah RPP
yang akan memenuhi lima pilar pendidikan.
B. Saran-saran
Merujuk kepada kessimpulan di atas,
penulis menyarankan kepada guru-guru mata pelajaran bahasa Inggris untuk:
1. selalu merancang RPPnya yang bersifat student-centered agar kelas yang diajarnya lebih hidup, aktif,
dinamis dan siswa tidak merasa rugi belajar.
2. meneliti hal-lain lain yang juga penting untuk
dipertimbangkan dalam penulisan RPP, misalnya bagaimana menentukan alokasi
waktu yang realistis untuk suatu materi ajar, pola interaksi dalam kelas dan
teknik evaluasi yang efektif untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, H.
Douglas. 2000. Principles Of Language
Learning And Teaching. 4th Edition. New York. Addison Wesley
Longman, Inc.
Hadfield, Jill
dan Charles Hardfield. Introduction To
Teaching English. Oxford. Oxford University Press.
Harmer, Jeremy. 2002.
The Practice of English Language
Teaching.3rd Edition. England. Longman University Press.
Lindsay, Cora
dan Paul Knight. 2006. Learning And
Teaching English. A Course For
Teachers. Oxford. Oxford University Press.
Nursisto. 2001. Spektrum Pengalaman Lapangan Dalam Dunia
Pendidikan. Jakarta. Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Richard, Jack C.
2006. Communicative Language Teaching
Today. New York. Cambridge University Press
Spratt, Mary, Alan
Pulverness dan Melanie Williams. 2005. The
TKT.Teaching Knowledge Test
Course. Cambridge. Cambridge University Press.
Watkins, peter. 2005.
Learning To Teach English. A Practical
Introduction For New Teachers. Addlestone. Delta Publishing.
Willis, Jane.
2003. A Framework For Task-Based Learning.
Malaysia. Pearson Education Limited.