Friday, August 9, 2013

CHECKLIST FOR TEACHING PROCESS


SCHOOL VISIT NUMBER CRUNCH











1. Did the lesson contain pair work?








2. Did the lesson contain group work?








3. Was there a communicative speaking activity?








4. Was there listening practice?








5. Did the teacher use mostly English for instructions?








6. Was there any pronunciation practice?








7. Did the students move about at all during the lesson?








8. Did the lesson contain a warmer or filler?








9. Did the students use English to talk to the teacher?








10. Did the teacher use supplememntary materials? *







       


MERANCANG RPP YANG MEMPERHATIKAN SISWA


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dunia pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin berkembang. Arah dari perkembangan dan perubahan ini dimaksudkan untuk menciptakan manusia yang cerdas dan meningkatkan kualitas guna mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera.  Oleh negara, tujuan pendidikan nasional secara rinci dituangkan dalam  Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional.  Salah satu subsistem pendidikan yang sangat berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan seperti yang dimaksud di atas adalah guru.
Menciptakan manusia yang memiliki kualitas pendidikan yang tinggi tidaklah semudah membalikan telapak tangan atau simsalabin dan jadilah siswa yang mengetahui segala sesuatu yang diajarkan pada pertemuan itu. Dr. Zamroni dalam Nursisto (2001:xxv) mengatakan bahwa
“Pendekatan konvensional dalam peningkatan kualitas pendidikan yang bertumpu secara kaku pada paradigma input-proses—output. Paradigma ini bersumberkan pada pendekatan fungsi produksi (Production Function Approach). Pendekatan ini menyatakan bahwa suatu output merupakan fungsi dari input. Pendekatan fungsi produksi ini mendeskripsikan bahwa kaitan antara input bersifat linear dan langsung mempengaruhi output dan cocok untuk produksi barang”

            Seorang guru yang merupakan ujung tombak kemajuan pendidikan perlu mengetahui komponen-komponen yang menunjang proses pembelajaran seperti motivasi belajar siswa, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, dan proses pembelajaran karena hal-hal ini saling bertautan.     Seorang guru yang kurang atau tidak memahami bagaimana memotivasi dan sekaligus mempertahankan motivasi ini menjadikan siswa-siswanya pasif, lebih-lebih lagi jika tidak mengetahui apa tujuan dari pembelajaran yang dilakukannya.
            Kurikulum terbaru sekarang sangat menuntut seorang guru yang professional mengelola kelasnya.  Sejak dari penyusunan silabus mata pelajaran, seorang guru sudah memiliki gambaran tentang materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, cara mengevaluasi pencapaian pembelajaran dan berapa lama materi tersebut harus diajarkan.  Ini sejalan dengan Undang-Undang No 14 tentang Guru dan Dosen tahun 2005, pasal 1 ayat menyatakan bahwa
“Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.

            Di era sekarang, profesionalisme memang sangat dibutuhkan karena perubahan tatanan masyarakat dan perkembangan teknologi dan  informasi yang merambah seluruh dunia. Daud Yusuf mengklasifikan tugas guru dalam tiga bidang memasukan tugas professional di mana dalam tugas ini seorang guru bertugas untuk “meneruskan atau menstramisikan ilmu, keterampilan dan nilai-nilai yang sejenisnya yang belum diketahui oleh anak dan seharusnya diketahui oleh anak”. Seorang guru yang bermasa bodoh dengan hal-hal ini dan tetap mempertahankan status quo-nya sebagai seorang penguasa dalam kelas akan sangat sulit untuk mengaktualisasikan tugas tersebut di atas.  Akibat yang timbul dari situasi seperti ini adalah pembelajaran yang sangat pasif. Siswa yang semula datang ke sekolah dalam keadaan yang bermotivasi menjadi tidak bermotivasi. Lalu, apa yang tertransfer ke siswa? Dr. Zamroni dalam Nursisto (2008:xxv) mengatakan bahwa karena metode yang diterapkan oleh guru tersebut sangat membosankan. Dan memang tidak dapat disangkal bahwa guru-guru kita termasuk guru-guru bahasa Inggris masih “menggunakan metode satu arah” seperti yang dilansir oleh ketua LPMP Medan dalam satu wawancara yang dimuat oleh ANTARA/FINROLL News terbitan selasa, 03 November 2009. Hasilnya, menurut beliau adalah “kurangnya daya kreativitas siswa”.
            UNESCO dalam Changing Teaching Practice (2004:11) mengilustrasikan satu contoh proses pembelajaran yang umum terjadi di Asia:
“Mrs. Kichwa, plans to conduct a reading lesson in her class. She walks into her classroom and meets her 80 students. Some of them are shouting at each other; others are breaking pieces of chalk and throwing them; and others are quietly waiting for the lesson to begin. She claps her hands and the students take out their readers. Mrs. Kichwa asks the students what they read yesterday. When they tell her, she asks them to go to the next story, Priscilla and the Butterflies. One of the students who is the regular reader in her class, stands up and begins to read this story. While the boy is reading, some students are still trying to find their book, and others are still talking; many of the students have not brought their reader. A few students are paying attention to the page of the reader and listening to the boy read.
While this is happening, Mrs. Kichwa is engaged in completing the attendance register and, occasionally looks up and shouts at one or more students, “Hey, look at your readers. I am going to ask some questions. All of those who do not answer the questions correctly will have to stand out in the hall.”


Apa yang dilakukan oleh Mrs. Kichwa juga dilakukan oleh sebahagian guru bahasa Inggris di Indonesia. Ketika mengajarkan keterampilan membaca (reading) misalnya, si guru yang sudah mendistribusikan buku teks kepada siswanya menyuruh membuka halaman tertentu, kemudian dibaca lalu diterjemahkan sebagian. Sisa waktu yang ada kemudian digunakan untuk menjawab pertanyaan yang tertera di bawah teks tersebut. Padahal tujuan pembelajaran itu bukan untuk sekedar membaca lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada, tetapi bagaimana seorang siswa mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Jadi yang ingin ditransfer ke siswa adalah teknik menjawab pertanyaan, teknik menjawab pertanyaan tentang gambaran umum teks tersebut (readiing for gist) dan teknik menjawab pertanyaan rinci (reading for details).
            Inilah yang disebut oleh Zamroni di atas sebagai metode konvensional yang membosankan. Maka terjadilah seperti apa yang dikemukan oleh Jane Willis (1996:4) bahwa:
“In language schools all over the world the largest group of students consist of people who have studied English at school but who feel they know nothing and want to start again. Many British school leavers have failed to learn French or German….. Although many of them pass their examinations successfully… ”.

 Tiap tahun ribuan bahkan jutaan siswa yang menyelesaikan pendidikan mereka dari jenjang SMA dan tentunya telah belajar bahasa Inggris selama 6 tahun (3 tahun pada jenjang SMP dan 3 tahun pada jenjang SMA) namun sangat sedikit dari mereka yang mampu menggunakan bahasa ini dalam berkomunikasi.
            Kenyataan di atas merupakan tamparan bagi guru-guru bahasa Inggris. Sebagai ujung tombak di medan pendidikan, guru perlu mengubah strategi, pendekatan, metode dan teknik penyajian materinya agar lebih hidup, lebih merangsang siswa belajar sehingga memacu motivasi yang seterusnya memacu diri mereka untuk mengetahui dan menguasai materi diajarkan. Apabila hal ini mampu diwujudkan dalam diri siswa, maka proses pembelajaran akan mudah. Kurang atau tidak akan ada lagi siswa yang mengganggu siswa lainnya. Sudah tidak ada lagi yang mengantuk atau memukul-mukul meja sambil bernyanyi di meja belakang. Ini disebabkan karena siswa adalah pelaku proses pembelajaran dan telah terbangun dalam dirinya kebutuhan untuk belajar. Untuk menuju ke arah ini, seorang guru perlu pemahaman dan penguasaan yang mendalam tentang bagaimana memotivasi siswa, teknik pembelajaran,  materi pembelajaran, merancang kegiatan pembelajaran dan mengevaluasi hasil pembelajaran.
            Pada kesempatan ini, penulis tertarik untuk membahas tentang bagaimana merancang suatu kegiatan pembelajaran (lesson plan) yang bersifat student-centered.

B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan paparan di atas, penulis mengajukan permasalahan yang akan menjadi fokus pembahasan tulisan ini. Adapun permasalahan adalah sebagai berikut: Bagaimana  cara merancang model RPP yang bersifat student-centered?

C. Tujuan Penelitian
            Adapun tujuan tulisan ini adalah untuk membahas tentang cara merancang model RPP yang bersifat student-centered.

D. Manfaat Penelitian
Diharapkan bahwa tulisan ini memberi manfaat pada guru, siswa dan sekolah.
1. Guru
     Setelah membaca tulisan ini, diharapkan bahwa guru bahasa Inggris memiliki gambaran bagaiamana menyusun tahap-tahap kegiatan  (lesson stage) dalam kelas.
2. Siswa
     Siswa memiliki motivasi untuk belajar dan dapat belajar sesuai dengan gaya belajar masing-masing (learning style)
3. Sekolah
     Sekolah dapat menelorkan siswa yang mampu berbahasa Inggris.














BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Perencanaan Pembelajaran (Lesson Planning)
            Sebelum penulis membahas lebih jauh tentang hal ini, penulis ingin memaparkan apa yang dimaksud dengan perencanaan pembelajaran sebagai batasan dari pembahasan tulisan ini. Sebelum mengetahui makna dari pencanaan pembelajaran, tentu kita harus mengetahui dulu apa itu perencanaan.
Menurut Herbert Simon (1996) perencanaan adalah sebuah proses pemecahan masalah, yang bertujuan adanya solusi dalam suatu pilihan. Gordon Rowland (1993) mengatakan bahwa perencanan bukan hanya membantu untuk menciptakan solusi tapi juga membantu untuk lebih memahami permasalahan itu sendiri, jadi sebuah usulan lebih diutamakan dibanding informasi awal. Proses perencanaan menggiring kita untuk berfikir kembali atau merangkai masalah kembali. Sabon (1987) berpendapat bahwa perencanaan membantu kita melihat masalah dalam pemikiran yang baru, pandangan yang berbeda dari yang lain, dan lebih baik dalam memahami masalah yang kompleks menjadi lebih sederhana.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perencanaan berakar kata rencana yang membawa arti n 1 kl cerita; 2 rancangan; buram (rangka sesuatu yg akan dikerjakan) kemudian mendapat imbuhan pe dan –an yang membawa makna proses, cara, perbuatan merencanakan (merancangkan) (http://pusatbahasa. diknas. go.id/ kbbi/index.php).
Jadi, kesimpulan yang dapat kita ambil dari pendapat para ahli di atas adalah bahwa perencanaan merupakan suatu proses pemecahan masalah untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
Sementara pembelajaran didefinisikan sebagai: 
“proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Sudrajat mengatakan bahwa:
Pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Dengan demikian perencanaan pembelajaran dapat dimaknai sebagai proses membantu guru secara sistematik dan menganalisis kebutuhan pelajar dan menyusun kemungkinan yang berhubungan dengan kebutuhan.  Perencanaan pembelajaran adalah suatu rincian hasil yang diinginkan sekaligus alat untuk melaksanakan aktivitas - aktivitas pembelajaran demi tercapainya hasil (perubahan tingkahlaku) yang diharapkan dalam periode tertentu. Perencanaan pembelajaran menunjukkan kegiatan - kegiatan yang dilakukan guru yang menunjukkan bagaimana seharusnya siswa diarahkan dalam mencapai tujuan yang diharapkan tersebut. Ia juga menunjukan bagaimana interaksi proses pembelajaran dalam kelas.



B. Teacher-Centered Versus Student-Centered
            Secara umum metode pembelajaran bahasa secara umum dan bahasa Inggris pada khususnya, dapat dibagi dalam dua model, yaitu:
2.    Metode yang berfokus pada siswa (student-centered)

1. Metode yang Berfokus Pada Guru (teacher-centered)
            Dalam pembelajaran bahasa, terutama bahasa Inggris, ada beberapa metode yang tergolong dalam tipe ini misalnya grammar translation method, direct method, audio lingualism, dan behaviorism. Mari kita lihat bagaimana dasar-dasar penyajian materi pelajaran dalam audio lingualism.
1. Structures that are the focus of the lesson. They repeat each line of the dialog, individually and in chorus. The teacher pays attention to pronunciation, intonation, and fluency. Correction of mistakes of pronunciation or grammar is direct and immediate. The dialog is memorized gradually, line by line. A line may be broken down into several phrases if necessary. The dialog is read aloud in chorus, one half saying one speaker’s part and the other half responding. The students do not consult their book throughout this phase.
2. The dialog is adapted to the students’ interest or situation, through changing certain key words or phrases. This is acted out by the students.
3. Certain key structures from the dialog are selected and used as the basis for pattern drills of different kinds. These are first practiced in chorus and then individually. Some grammatical explanation may be offered at this point, but this is kept to an absolute minimum.
4. The students may refer to their textbook, and follow-up reading, writing, or vocabulary activities based on the dialog may be introduced.
5. Follow-up activities may take place in the language laboratory, where further dialog and drill work is carried out.
(Richards:2001, 64-65)
Berdasarkan gambaran di atas, kita dapat melihat bahwa perencanaan pembelajaran dari metode ini adalah:

a.       Membaca dialog secara berulang-ulang (repetition)
b.      menghafal (memorizing) kalimat-kalimat dalam dialog
c.       menirukan dialog yang diberikan (acting out a dialog)
d.      pola struktur bahasa yang diajarkan dilatihkan secara berulang-ulang (drilling)
e.        Kegiatan yang dilakukan oleh siswa selama proses ini hanyalah menghafal, menirukan dialog (biasanya berdiri di depan kelas). Kemudian mengajarkan struktur bahasa, seperti di bawah ini lewat latihan yang berulang-ulang (drilling ):
T: There’s a cup on the table … repeat.
S: There’s a cup on the table
T: Spoon
S: There’s a spoon on the table.
T: Book
S: There’s a book on the table
T: On the chair
S: There’s a book  on the chair  …. dan seterusnya
(Harmer, 2002:79)
Tahap berikut (tindak lanjut kegiatan ini) adalah diperdengarkannya contoh teks mendengar (listening teks) dan siswa menemukan kalimat-kalimat yang menggunakan pola yang telah dijelaskan.
Contoh lain adalah grammar translation method. Pada dasarnya, metode ini memiliki tahap kegiatan sebagai berikut:
a. studying written texts
b. translating them into the students’ own language
c. carrying out a study of grammar. There is little attention given to the use of the spoken language.
             Jadi ketika seorang guru mengajar dengan menggunakan metode ini, rencana tahap pelajaran (lesson stage) yang akan dilalui oleh siswa adalah:
a. membaca teks yang mengandung struktur kalimat yang akan dibahas
b. menerjermahkan teks tersebut ke dalam bahasa si pelajar
c. membahas struktur kalimat. Bahasa lisan sangat minim. Perhatikan contoh berikut ini:
Guru mengatakan:
To perform the present perfect continuous tense, use the auxiliary verb have plus the past participle of the verb the to be plus the present participle (guru menulis pola kalimat di papan tulis: have/has + been + V-ing lalu menuliskan contoh kalimat). You use the present perfect tense to talk about activities that started in the past and continue to the present, especially when you want to focus on the process it, or its duration, for example … (guru menulis contoh lain di papan tulis)
Tahap berikutnya:
Now, make sentences using the present perfect continuous tense for these situations…
a.      Jeff started watching TV at 5.00. He has just switched the TV off. It is now 9.00 o’clock.
b.      I first came to live in this town 5 years ago. I’m still living here
c.       Our company was set up over 100 years ago. We manufactured bicycles then and we are still manufacturing them.
Berdasarkan kedua contoh di atas dapat dilihat bahwa siswa akan mengulang kegiatan-kegiatan (tasks) yang bersifat monoton ini selama mereka belajar di sekolah. Jadi tidak heranlah jika Dr. Zamroni mengatakan bahwa metode ini konvesional dan sangat membosankan dan persis seperti apa yang dikemukan oleh Jane Willis seperti dikutip sebelumnya dan Lucy Pollard (http://www.scribd.com/doc/26653215-14578401/Teaching-English-to-students) yang belajar bahasa Perancis dengan menggunakan metode mengatakan I learnt French through this method and whilst I was able to read and translate complicated texts, I was unable to buy a loaf of bread when I went on holiday to France”.
            Metode pembelajaran yang berfokus pada guru ini menempatkan siswa sebagai objek, sementara Watkins (2005:9) mengatakan sebagai “empty vessels (tong kosong) yang siap diisi oleh gurunya dengan ilmu. Ketika guru masuk ke kelas, semua siswa harus duduk dengan tenang mendengarkan penjelasan sang guru. Siswa hanya memproduksi kalimat persis seperti yang diajarkan. Dengan metode ini, jelas terlihat bahwa persentase waktu bicara guru (teacher talking time/TTT) lebih besar daripada waktu bicara siswa (student talking time/STT). Ini disebabkan karena cara utama penyajian materi adalah dengan menggunakan ceramah. Oleh sebab itu, kemampuan daya serap siswa sangat bergantung kepada menarik tidaknya guru tersebut menyajikan materinya di samping kedalaman pemahaman guru terhadap materi tersebut.
Singkatnya, ketika guru merancang RPP-nya dengan metode techer-centered, yang sangat aktif dalam kelas ketika berlangsungnya pembelajaran adalah guru.

2. Metode yang Berfokus Pada Siswa (student-centered)
Paradigma pembelajaran bahasa kemudian berubah. Banyak pakar metodologi pengajaran mulai mempertanyakan keampuhan metode di atas. Mereka beranggapan bahwa siswa tidak lagi bisa dianggap sebagai objek atau tong kosong yang selalu bergantung kepada guru, menunggu instruksi guru, persetujuan guru, koreksi dari guru, nasehat dari guru maupun pujian dari guru. Siswa harus menjadi subjek atau pelaku pembelajaran sedangkan guru berfungsi sebagai controller, organizer, observer, participant, prompter, tutor, resource, and assessor (Harmer, 2002:72-77)
Metode pembelajaran yang berfokuskan siswa antara lain adalah task based learning, suggestopaedia, silent way, communicative language learning (communicative approach) dan yang sering didengungkan sekarang, contextual teaching and learning (seterusnya disebut CTL).
Mari kita lihat bagaimana tahap kegiatan proses pembelajaran dalam task based learning. Willis (2003:52) menggambarkan tahapan proses belajar dengan  task based learning yang dipopulerkan oleh N. Prabhu sebagai berikut:
Pre task
Introduction to the topic
and task
Task cycle
Task
Planning
Report

Language focus
Analysis
Practice

            Kegiatan yang digunakan oleh Prabhu dalam memperkenalkan topik pelajaran (Introduction to the topic and task) misalnya adalah mengkalsifikasikan kata dan frase (classifying words and phrases), menemukan yang aneh, (odd one out), menjodoh kata/frase dengan gambar (matching words/phrases to pictures), curah pendapat (brainstorming), permainan (games). Kegiatan-kegiatan ini dilakukan secara individu (individual work), berpasangan (pair work), kelompok kecil/besar (small/big groupwork), secara keseluruhan siswa dalam kelas (whole class activity).
            Sementara dalam tahap task cycle, siswa diminta bekerja secara berpasangan atau kelompok untuk merampungkan kegiatan tersebut. Kegiatan-kegiatan ini  bisa berupa dialog, diskusi kelompok, role play dan lain-lain bergantung kepada keterampilan apa yang diajarkan pada pertemuan itu. Laporan kelompok dapat dilakukan dengan presentasi lisan (oral presentation) atau tertulis (written presentation)
            Pada tahapan language focus, siswa diberikan teks bacaan atau mendengar yang mengandung target bahasa yang telah dilakukan sebelumnya.
            Kita dapat melihat bahwa pelaku utama dalam proses pembelajaran ini adalah siswa. Siswa mulai terlibat dalam proses pembelajaran sejak kelas di mulai (introduction) hingga kelas berakhir (language focus). Ini menunjukkan bahwa presentase student talking time/STT jauh lebih besar daripada teacher talking time/TTT.
Contoh lain dari metode yang mengedepankan siswa dalam proses pembelajaran adalah CTL. Menurut Depdiknas ( 2003 : 5 ) ” Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan perencanaan dalam kehidupan mereka sehari – hari ”. CTL memiliki tujuh asas yaitu; constructivism (konstuktivisme), inquiry (inkuiri), questioning (bertanya), learning community (masyarakat belajar), modeling (pemodelan), reflection (refleksi), dan authentic assessment (penilaian nyata). Jika diteliti secara mendalam asas-asas CTL di atas, metode ini akan mengaktifkan siswa dari dua sisi. Yang pertama, aktif secara mental dan yang kedua aktif secara fisik. Proses mengkonstruksi apa yang diketahui dan apa yang baru dipelajari membutuhkan proses mental, begitu juga dengan inkuiri dan bertanya. Apa yang perlu ditanyakan perlu dipertimbangkan secara matang, jangan sampai siswa hanya bertanya hal-hal yang tidak bertautan. Sedangkan keaktifan fisik diperlukan dalam mencari informasi atau pengetahuan baru tersebut yang mungkin bisa dilakukan lewat kerja kelompok, berpasangan, role play, interview dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan pembelajaran ini sangat berkaitan dengan gaya belajar siswa (learning style). Untuk mewujudkan agar kedua hal tersebut berjalan seimbang, maka guru sangat perlu berhati-hati dalam merancang tahapan-tahapan proses pembelajaran.
Dalam pendekatan kontekstual, perencanaan pembelajaran model CTL akan melalui strategi berikut:
1.      MOTIVASI
a.      Pengenalan
b.       Isu
c.       perbincangan
d.      Alat bantu mengajar
2.      PEMAHAMAN
a.      Penerangan konsep dan perbincangan kelas
b.      Bacaan dan melakukan
c.       Contoh kajian
3.      KEMAHIRAN/APLIKASI
a.      Aktiviti Hands-On
b.      Penyelesaian masalah
4.      IMBASAN KEMBALI DAN PENILAIAN
a.      Ingat kembali fakta utama
b.      Penilaian kemajuan

            Maka, dalam metode ini, siswa sebagai sebagai suatu individu mendapat perhatian yang tinggi dan oleh karenanya semua kegiatan yang dirancang oleh guru dalam RPPnya mengarah kepada bagaimana siswa belajar secara aktif.

C. Pembelajaran siswa aktif
            Kalau diteliti dari kedua metode pembelajaran di atas, maka metode kedua adalah metode pembelajaran yang mampu membuat siswa belajar aktif karena peran mereka sangat besar dalam mencapai tujuan pembelajaran. Proses pembelajaran dengan siswa aktif bukan sekedar suatu kegiatan untuk mentransferkan ilmu (kognitif) tetapi juga nilai-nilai (afektif) dan keterampilan (psikomotor). Pembelajaran jenis ini juga tidak hanya mengarah kepada “belajar tentang” (learning about things). Jika ketiga ranah ini terwujud dalam proses pembelajaran maka proses pembelajaran tersebut telah memenuhi lima paradigma baru pendidikan yang direkomendasikan oleh UNESCO. Kelima paradigma tersebut adalah learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together dan learning throughtout life. Dalam konteks learning to know, guru berubah fungsi dari sebagai penyedia informasi (information supplier) menjadi fasilitator. Peserta didik dimotivasi sedemikian rupa sehingga timbul keinginan untuk mempelajari sesuatu.
            Learning to do mengisyaratkan bahwa seorang guru harus mampu membimbing siswa untuk  melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan pembelajaran. Siswa dituntut untuk aktif positif daripada aktif negatif.
            Dalam metode pembelajaran siswa aktif kedua hal di atas dapat melalui kegiatan-kegiatan seperti role play, kelompok kecil maupun besar, interview dan segala bentuk interaksi yang melibatkan orang lain akan melatih siswa untuk learning to live. Model-model pembelajaran ini akan melatih siswa untuk menumbuhkembangkan sifat-sifat menghargai pendapat, belajar mendengar, sportivitas yang kesemuanya merupakan nilai-nilai yang sangat dibutuhkan dalam hidup bermasyarakat.
            Apabila keempat proses pembelajaran di atas telah terbentuk dalam diri siswa, mereka akan merasa haus terhadap fenomena-fenomena di sekeliling mereka. Ini mendorong siswa untuk terus belajar sepanjang hayat, di mana dan kapanpun. Inilah learning throughout life.
            Untuk mengimplemetasikan paradigma baru di atas, perencanaan RPP oleh guru bahasa Inggris sangat perlu memperhatikan tujuan pembelajaran, karakteristik siswa, kegiatan pembelajaran, lingkungannya dan lain-lain hal yang sangat berperan besar dalam menyukseskan proses pembelajaran di kelasnya. 


BAB III
PEMBAHASAN

A. Metode Penulisan
            Metode penelitian dalam membahas masalah ini adalah melalui kajian pustaka. Artinya, penulis berusaha mencari refrensi-refrensi yang relevan dengan topik bahasan lalu mengkaji bahan-bahan tersebut. Sesungguhnya terdapat banyak komponen yang harus dipertimbangkan ketika guru sedang merancang RPP misalnya, media pembelajaran, alokasi waktu, di mana mendapatkan sumber materi, pola interaksi, cara mengevaluasi hasil pembelajaran namun karena keterbatasan waktu dan kemampuan penulis maka pada bahagian ini penulis akan membahas bagaimana merancang kegiatan dalam RPP yang bersifat student-centered.

B. Merancang Kegiatan dalam RPP
            Segala kegiatan yang dilakukan oleh seorang dalam satu kali pertemuan sangat penting karena akan menentukan apakah proses pembelajaran pada pertemuan tersebut bermakna atau tidak bagi siswa, apakah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siswa dapat membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan dalam RPP sehingga siswa keluar dari kelas dengan membawa input + 1. Artinya, kegiatan-kegiatan yang dipilih dan dituliskan dalam RPP adalah kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh siswa, bukan apa yang akan dilakukan oleh guru sehingga pengetahuan atau ketrampilan berbahasa mereka bertambah. Hal-hal yang sangat penting untuk difikirkan oleh guru dalam penyusunan kegiatan dalam RPP adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Pembelajaran (Lesson Aim)
Hal pertama yang menjadi pertimbangan seorang guru dalam memilih atau menentukan kegiatan yang akan dilakukan oleh siswa nantinya adalah tujuan pembelajaran karena dalam tujuan pembelajaran ini jelas terlihat dalam konteks apa siswa akan mempelajari materi/bahan ajar. Apabila guru telah mengetahui konteks pembelajaran maka dia dapat membayangkan kegiatan-kegiatan apa yang akan dipilih untuk dipraktekkan oleh siswa yang tentunya kegiatan-kegiatan tersebut nyata dalam kehidupan sehari-hari siswa.
2. Kegiatan Siswa
            Secara umum, kegiatan dalam proses pembelajaran di kelas dapat dibagi tiga: kegiatan awal, inti dan akhir. Dalam kegiatan awal, selain dari mengecek kehadiran siswa, memberi motivasi atau apersepsi, kegiatan pengantar (lead-in activity) untuk membawa siswa masuk ke dalam topik pelajaran sangat penting. Ketika kegiatan awal yang ditentukan ternyata tidak mampu mengantar siswa ke dalam topik pelajaran, maka sepanjang pembelajaran berlangsung, siswa seolah-olah berada di luar  kotak atau menjadi penonton di kelas (meskipun secara fisik siswa itu berada dalam kelas). Akibat yang timbul dari kejadian ini adalah siswa tersebut akan menimbulkan masalah (trouble maker) sehingga bisa mengganggu kedisiplinan kelas.
            Kegiatan inti atau kegiatan utama adalah kegiatan-kegiatan yang diatur sedemikian rupa sehingga siswa dapat mempraktekkan target bahasa yang sedang dipelajari. Kegiatan inti dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu very controlled practice dan less controlled practice. Guru harus yakin bahwa siswa berhasil melalui tahap karena akan menjadi tolok ukur untuk kegiatan berikut.
            Kegiatan akhir adalah kegiatan di mana siswa dapat mempraktekkan target bahasa yang telah dipraktekkan pada tahap kedua di atas secara bebas. Kegiatan ini juga biasa disebut personalization atau production. Pada tahap ini, siswa menggunakan target bahasa secara bebas sesuai dengan pengalaman nyata mereka dalam kehidupannya, artinya siswa mengkontekstualkan materi pelajaran tersebut. Pada tahap ini juga guru dapat meng-asses siswa yang sudah menguasai target bahasa dan yang tidak.
            Jadi, setiap kegiatan yang dipilih adalah merupakan suatu bagian kegiatan yang saling menunjang dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Perlu kehatian-hatian dalam menyusun kegiatan-kegiatan ini, jangan sampai kegiatan yang pertama menjadi kegiatan kedua atau ketiga. Jika hal ini terjadi, proses pembelajaran akan menjadi pincang.
            Memilih kegiatan juga perlu dipertimbangkan tingkat kesulitan kegiatan bagi siswa, apakah kegiatan-kegiatan itu too challenging atau not challenging. Kegiatan-kegiatan yang too challenging akan membuat siswa frustasi dan ini menyebabkan mereka kehilangan motivasi belajar. Waktu yang dibutuhkan juga akan lebih lama sehingga kegiatan-kegiatan berikut terbengkalai. Sebaliknya, kegiatan-kegiatan yang not challenging akan dengan cepat diselesaikan. Dampaknya, masih banyak waktu yang tersisa sebelum bel berbunyi. Siswa yang sudah selesai juga akan melakukan kegiatan lain yang bisa menggangu kelas. Jadi, kegiatan-kegiatan yang dipilih sebaiknya challenging bagi siswa.
            Perhatikan contoh RPP berikut ini:

Main aim: by the end of the lesson the students will be better able to use phrases to talk about ‘likes’ in the context of talking about a favourite sport. 

Stage

Time

Activity

Procedure
Aim/Reasons for doing this
Interaction patterns
1

0-2
Miming and speaking
ask: what am I doing?
The teacher mimes playing squash.
Students guess the sport and ask 3 questions. E.g. How often do you play/Why do like it? Who…?   
To introduce the topic of favourite sports in a fun, memorable way.  
 (T-Ss)

 (Sts- T)

2

3-7
Speaking in pairs

Sts work in pairs and do the same activity as in stage 1 - but chose a sport they enjoy playing or watching.

To get the students moving around and provide a brief fluency task by letting them ask any questions they want.
(St-St)
3
8-11
Reading
Give 2 short texts about someone’s favourite sport. A & B have different texts.
Find out from each other:
What is the sport?
Why does this person enjoy this sport?
Do you agree with how the writer feels? 
To provide some practice of reading for main ideas and specific information.
Reading alone

(St-St)
4

11-14

Focus on vocabulary

Students look again at the texts and underline examples of phrases that show you like something.
Compare findings with partner 
To focus attention on phrases for talking about likes.
(St-St)
5

15-20


Focus on grammar

Students put phrases to use in gapped text
To focus attention on the grammar associated with phrases for talking about likes.
(St-St)
6
20-35
Writing
 Write a short text explaining why you like a certain sport
To consolidate language exposed to in the lesson.
Writing alone
(Communicative English language teacher training, module 2: 5)
Tujuan pembelajaran di atas adalah mengungkapkan rasa suka (like). Konteks pembelajaran adalah olah raga favorit (favourite sport). Konteks olah raga adalah konteks yang umum dialami oleh siswa dalam hidup mereka.
            Kegiatan pengantar (lead-in) adalah dengan peniruan gerakan (mime). Meniru-niru gerakan sesuatu biasanya agak lucu sehingga bisa membuat seseorang tertarik perhatiannya. Ini kemudian dilanjutkan dengan menanyakan beberapa pertanyaan untuk membawa siswa ke lebih dalam topik pelajaran. Setelah guru memberikan model, pada tahap berikut, siswa diminta untuk melakukan kegiatan itu sendiri namun secara berpasangan. Ini memberikan kesempatan yang lebih besar kepada mereka untuk menggunakan bahasa Inggris. Kegiatan ini challenging karena untuk melakukan kegiatannya, dibutuhkan keberanian untuk berakting, kemampuan bertanya dan menjawab pertanyaan.
            Pada tahap berikut siswa secara berpasangan diberikan teks yang berbeda pada setiap pasangan. Ini akan menimbulkan rasa ingin tahu siswa A terhadap siswa B dan sebaliknya. Maka terjadilah tanya jawab. Kemudian siswa diminta menemukan kalimat-kalimat yang dipakai untuk mengungkapkan rasa suka. Jawaban-jawaban mereka kemudian dibanding. Setelah guru mencek jawaban siswa, ungkapan-ungkapan itu kemudian diaplikasikan dengan mengisi kalimat-kalimat rumpang dalam teks yang diberikan pada tahap berikutnya. Kegiatan ini ditutup dengan meminta siswa untuk menulis tentang olah raga favorinya.
            Dapat dilihat dari contoh RPP di atas bahwa proses kegiatan dimulai dari tahap pengenalan menuju ke praktek dan diakhiri dengan personalisasi atau produksi. Sejak proses pembelajaran dimulai, siswa sudah dilibatkan secara intensif. tidak ada satu kegiatan pun yang sia-sia karena setiap kegiatan menunjang kegiatan berikutnya untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran.
3. ESA
Dalam penyusunan RPP mata pelajaran bahasa Inggris, Callum Robertson dan Richard Acklam (http://www.scribd.com/doc/3272225/Action-plan-for-teaching-eng) mengatakan bahwa ada tiga elemen yang harus hadir dalam benak guru, yaitu: engaged, study, activate (ESA). Elemen pertama, engaged, bermakna siswa tertarik terhadap mata pelajaran, kegiatan pembelajaran dan materi pelajaran. Elemen ini sangat penting karena hanya siswa yang tertarik secara emosional terhadap sesuatu akan belajar lebih baik (Harmer, 2002:83)
Elemen kedua, study. Dalam setiap proses pembelajaran bahasa Inggris, pasti ada sesuatu yang perlu dipelajari oleh siswa, misalnya bagaimana membentuk frase kata sifat, membuat kalimat pasif, organanisasi teks narrative, procedure dan lain-lain.
Elemen ketiga, activate. Kegiatan-kegiatan yang direncanakan harus mampu mengaktifkan siswa karena sekedar diberitahu saja tidaklah cukup untuk siswa menguasai materi pelajaran tersebut.

Stage

Time

Activity

Procedure
Aim/Reasons for doing this
Interaction patterns
1

0-2
Miming and speaking
ask: what am I doing?
The teacher mimes playing squash.
Students guess the sport and ask 3 questions. E.g. How often do you play/Why do like it? Who…?   
To introduce the topic of favourite sports in a fun, memorable way.  
 (T-Ss)

 (Sts- T)

2

3-7
Speaking in pairs

Sts work in pairs and do the same activity as in stage 1 - but chose a sport they enjoy playing or watching.

To get the students moving around and provide a brief fluency task by letting them ask any questions they want.
(St-St)
3
8-11
Reading
Give 2 short texts about someone’s favourite sport. A & B have different texts.
Find out from each other:
What is the sport?
Why does this person enjoy this sport?
Do you agree with how the writer feels? 
To provide some practice of reading for main ideas and specific information.
Reading alone

(St-St)
4

11-14

Focus on vocabulary

Students look again at the texts and underline examples of phrases that show you like something.
Compare findings with partner 
To focus attention on phrases for talking about likes.
(St-St)
5

15-20


Focus on grammar

Students put phrases to use in gapped text
To focus attention on the grammar associated with phrases for talking about likes.
(St-St)
6
20-35
Writing
 Write a short text explaining why you like a certain sport
To consolidate language exposed to in the lesson.
Writing alone

Merujuk kembali kepada contoh RPP di atas, kegiatan 1 (guru meniru atau miming, gerakan satu jenis olah raga) dan 2 (siswa meniru gerakan satu jenis olah raga) dipakai sebagai kegiatan untuk membuat siswa tertarik secara emosional (engaged). Miming dapat dalam konteks ini sangat tepat karena meniru-niru gerakan dapt menimbulkan kelucuan sehingga siswa akan tertawa gembira. Emosi gembira ini mampu membuat siswa tenggelam dalam topic pelajaran. Kegiatan ketiga (membaca teks di mana masing-masing siswa A dan B memiliki teks yang berbeda) akan menimbulkan keingintahuan tentang teks tersebut sehingga mengetahui apa isi teks tersebut mereka diharuskan untuk saling bertanya jawab dan kegiatan keempat (menemukan ungkapan like). Kedua proses kegiatan tersebut membutuhkan kemampuan kognitif untuk memproses informasi yang diperoleh. Pada tahap ini siswa sedang mempelajari target pelajaran (study). Kegiatan kelima (siswa melengkapi kalimat rumpang) dan keenam (menulis) berfungsi untuk member kesempatan kepada siswa menggunakan target pelajaran (activate).
Jika ketiga elemen ini hadir pada saat penyusunan tahap-tahap pembelajaran maka siswa akan belajar secara aktif baik fisik maupun mental seperti yang dikemukan sebelumnya dalam metode CTL.
4. Gaya Belajar Siswa (Learning Style)
Apa yang dimaksud dengan gaya belajar? Spratt (2005:52) mengatakan bahwa “learning styles are the ways in which a learner naturally prefers to take in, process and remember information and skill”. Definisi lain dari gaya belajar adalah “Basically, your learning style is the method that best allows you to gather and use knowledge in a specific manner”  (http://www.scribd.com/doc/15242940/Understan ding-Learning-Styles). Secara umum gaya belajar berarti cara seorang siswa ikut terlibat, memproses dan mengingat informasi atau keterampilan. CTL adalah satu metode pembelajaran yang sangat memperhatikan perbedaan setiap individu.
Mengapa perlu memahami gaya belajar siswa?

Understanding your particular learning style and how to best meet the needs of that learning style is essential to performing better in the classroom. Once you have unlocked your learning style and discovered the best methods for helping you to learn through that style, you my be surprised to discover just how well you can flourish in the classroom, even in subjects that you previously found difficult.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Adrian Benny Hidayat bahwa sangat penting mengetahui bagaimana gaya belajar anak-anak karena gaya belajar sangat mempengaruhi perkembangannya kelak (http://www.suaramedia.com/gaya-hidup/anak/18368-pentingnya-memahami-gaya-belajar-anak.html). Dalam satu penelitian ditemukan bahwa sebahagian besar siswa memiliki gaya belajar visual tetapi sekkitar 90-95% materi pelajaran disajikan dengan metode ceramah. Tidakkah ini tidak cocok? (http://www.scribd.com/doc/11631074-3/ Learning-Styles)
Singkat kata, pengetahuan guru tentang gaya belajar akan sangat sangat membantunya dalam merancang proses pembelajaran yang dapat mensinkronkan gaya belajar siswa sehingga siswa dapat menemukan, memproses dan mengingat informasi dan keterampilan tersebut secara maksimal.
            Secara umum, Spratt (2005:52) membagi gaya belajar siswa dalam tujuh bentuk: visual, auditory, kinesthetic, group, individual, reflective, dan impulsive. Menurut Brown (2000:112-122) gaya belajar terdiri atas field independent, field dependent, ambiguity tolerance, reflective, impulsive, visual dan auditory. Namun secara umum banyak pakar pendidikan yang mengatakan bahwa gaya belajar terbagi kepada tiga yaitu: visual, auditory dan kinesthethic. Penulis, pada kesempatan ini akan membahas empat jenis gaya belajar siswa yaitu, visual, auditory, individual dan kinesthethic.
Setiap individu memiliki gaya belajar yang berbeda tetapi ini tidaklah berarti bahwa individu tersebut hanya memiliki satu dari gaya belajar tersebut. Misalnya siswa A mungkin saja memilki kombinasi gaya belajar kinesthetic dan visual tetapi yang lebih dominan dalam dirinya kinesthetic.
            Siswa yang dominan dengan gaya belajar visual adalah siswa yang senang melihat sesuatu dan senang menulis.
Visual learners have a tendency to describe everything that they see in terms of appearances. These learners love visual aids such as photos, diagrams, maps and graphs. Visual learners frequently are good writers and will commonly perform quite well on written assignments.

Artinya, ketika guru menyajikan materi pelajaran hanya dengan berceramah mulai dari menit pertama hingga bel berbunyi, siswa yang bertipe ini akan merasa jenuh atau bosan dengan pelajaran karena prinsip mereka adalah “show me and I will learn”.
Maka guru dalam rancangan RPPnya sebaiknya menggunakan media seperti gambar,  diagram, peta, flash cards dan realia. Mereka tanggap terhadap kegiatan yang diperagakan karena berangkat dari model yang mereka lihat. Selain dari itu, siswa yang bertipe seperti ini juga senang mencatat pelajaran sehingga dari catatan mereka dapat memproses materi tersebut.
            Siswa yang gaya belajarnya auditory senang mendengar.
Auditory learners are very good listeners. They tend to absorb information in a more efficient manner through sounds, music, discussions, teachings, etc. These individuals will be more likely to record lectures so that they can replay them at a later time for study purposes
 Jadi mereka akan mengolah informasi atau keterampilan itu dengan baik melalui suara, music, diskusi dan ceramah. Ketika mereka mendengar mereka sangat senang menulis apa yang didengar. Mereka juga suka membaca nyaring. Ketika berdiskusi mereka adalah pendengar yang baik dan ketika menjelaskan mereka akan memberikan penjelasan yang panjang lebar. Prinsip mereka adalah “explain to me and I will learn
Maka guru dalam rancangan RPPnya sebaiknya menciptakan kegiatan yang bisa membuat kelompok siswa ini mendengar misalnya dengan berdialog, diskusi, kaset, mendengar pidato.
            Siswa yang memiliki gaya belajar kinesthetic senang bergerak-gerak, menyentuh sesuatu dengan tangannya. Kegiatan yang direncanakan membutuhkan gerakan mereka sangat proaktif. Mereka sangat senang mendemonstrasikan sesuatu. Prinsip mereka adalah “let me move and I will learn
Oleh karena itu guru perlu menyiapkan kegiatan yang membuat mereka bisa bergerak. Kegiatan-kegiatan ini berupa demonstrasi, board games, running dictation, miming, mingle activity dan lain-lain.
            Gaya belajar individual adalah gaya belajar yang senang melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Baharin abu cs mengatakan,
“Terdapat individu yang suka belajar sendirian dan tidak mahu gangguan sewaktu mereka belajar. Mereka lebih selesa berbanding mereka belajar dengan rakan sebaya karena kurang membuang waktu untuk bercakap dengan teman sebaya menyebabkan tidak dapat menumpukan terhadapa pelajaran”

Maka kegiatan-kegiatan individu seperti melengkapi kalimat, menulis surat kepada teman sebaiknya disiapkan dalam RPP.
            Lalu bagaimana memenuhi gaya belajar siswa? Jawabnya hanya satu, variasikan kegiatan dalam kelas.     
Mari kita lihat kembali bagaimana RPP di atas mengakomodasi gaya belajar siswa yang beragam ini.

Stage

Time

Activity

Procedure
Aim/Reasons for doing this
Interaction patterns
1

0-2
Miming and speaking
ask: what am I doing?
The teacher mimes playing squash.
Students guess the sport and ask 3 questions. E.g. How often do you play/Why do like it? Who…?   
To introduce the topic of favourite sports in a fun, memorable way.  
 (T-Ss)

 (Sts- T)

2

3-7
Speaking in pairs

Sts work in pairs and do the same activity as in stage 1 - but chose a sport they enjoy playing or watching.

To get the students moving around and provide a brief fluency task by letting them ask any questions they want.
(St-St)
3
8-11
Reading
Give 2 short texts about someone’s favourite sport. A & B have different texts.
Find out from each other:
What is the sport?
Why does this person enjoy this sport?
Do you agree with how the writer feels? 
To provide some practice of reading for main ideas and specific information.
Reading alone

(St-St)
4

11-14

Focus on vocabulary

Students look again at the texts and underline examples of phrases that show you like something.
Compare findings with partner 
To focus attention on phrases for talking about likes.
(St-St)
5

15-20


Focus on grammar

Students put phrases to use in gapped text
To focus attention on the grammar associated with phrases for talking about likes.
(St-St)
6
20-35
Writing
 Write a short text explaining why you like a certain sport
To consolidate language exposed to in the lesson.
Writing alone

Kegiatan 1: Ketika guru meniru gerakan permainan squash dan mengemukakan beberapa pertanyaan, siswa yang bergaya belajar visual dan auditory sangat aktif pada tahap ini. Tetapi tidak berarti bahwa siswa akan tertinggal pada tahap ini karena mereka secara otomatis menggunakan gaya belajar yang kedua dominan dalam dirinya. Yang sangat penting adalah semua siswa telah tertarik dengan topik yang dibawakan.
Kegiatan 2:  Siswa diberikan kesempatan untuk bekerja berpasangan dan berbuat seperti apa yang telah dicontohkan sebelumnya. Kegiatan ini tentunya membutuhkan gerakan-gerakan fisik. Yang sangat aktif mendemonstrasikan kegiatan ini biasanya dari kelompok siswa yang memiliki gaya belajar kinesthethic. Kerja berpasangan ini sangat mebantu pula dalam kelompok auditory dan visual.
Kegiatan 3:  Sekali lagi siswa bekerja berpasangan lalu diberikan teks yang berbeda. Masing-masing siswa membaca teksnya sebelum bertanya jawab. Siswa yang bertipe individual dan visual mula memproses informasi-informasi tentang teks tersebut dan ketika bertanya jawab gaya belajar auditory dan kinesthethic sangat difungsikan.
Kegiatan 4:  Pada tahap ini, siswa diminta untuk membaca secara teliti tentang teks tersebut dan menemukan ungkapan-ungkapan like. Siswa dengan gaya belajar individual akan aktif pada tahap ini, begitu juga dengan visual karena biasanya siswa yang bergaya visual senang memberikan suatu kode tertentu, misalnya dengan menggaris bawahi atau membundari informasi yang diminta. Ketika diminta untuk membandingkan jawaban atau temuan mereka, siswa auditory akan sibuk menjelaskan jawaban mereka. Siswa yang kinesthethic akan menggunakan gerakan-gerakan tangan untuk membantunya dalam penjelasan.
Kegiatan 5:  Melengkapi kalimat/teks rumpang. Siswa dengan gaya individual dan auditory sangat senang dengan kegiatan ini karena siswa kelompok yang disebut tidak terganggu dari siswa lain sementara yang kedua senang menulis kembali apa yang telah dipelajari.
Kegiatan 6: menulis paragraf secara individu. Sekali lagi siswa dengan tipe individual dan auditory learning sangat senang dengan kegiatan ini.
            Jadi dapat dilihat dari RPP di atas bahwa dengan bervariasinya kegiatan yang direncanakan akan sangat membantu siswa dalam memproses informasi atau keterampilan yang sedang dipelajari. Dapat juga disimpulkan bahwa RPP ini mampu membuat siswa menjadi aktif mulai dari menit-menit awal hingga menit-menit terakhir pembelajaran. Inilah RPP yang bersifat student-centered.










BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
            Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa:
1. merancang RPP yang bersifat student-centered adalah merancang kegiatan-kegiatan pembelajaran dalam kelas yang membuat siswa dalam kelas tersebut aktif melakukan kegiatan-kegiatan pembelajaran yang memperhatikan tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, ESA dan gaya belajar siswa perlu diperhatikan dalam merancang RPP yang bersifat student-centered.
2. RPP yang dirancang dengan memperhatikan siswa adalah RPP yang akan memenuhi lima pilar pendidikan.

B. Saran-saran
            Merujuk kepada kessimpulan di atas, penulis menyarankan kepada guru-guru mata pelajaran bahasa Inggris untuk:
1. selalu merancang RPPnya yang bersifat student-centered agar kelas yang diajarnya lebih hidup, aktif, dinamis dan siswa tidak merasa rugi belajar.
2. meneliti hal-lain lain yang juga penting untuk dipertimbangkan dalam penulisan RPP, misalnya bagaimana menentukan alokasi waktu yang realistis untuk suatu materi ajar, pola interaksi dalam kelas dan teknik evaluasi yang efektif untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA

Brown, H. Douglas. 2000. Principles Of Language Learning And Teaching. 4th Edition. New York. Addison Wesley Longman, Inc.

Hadfield, Jill dan Charles Hardfield. Introduction To Teaching English. Oxford. Oxford University Press.

Harmer, Jeremy. 2002. The Practice of English Language Teaching.3rd Edition. England. Longman University Press.

Lindsay, Cora dan Paul Knight. 2006. Learning And Teaching English. A Course For Teachers. Oxford. Oxford University Press.

Nursisto. 2001. Spektrum Pengalaman Lapangan Dalam Dunia Pendidikan. Jakarta. Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

Richard, Jack C. 2006. Communicative Language Teaching Today. New York. Cambridge University Press

Spratt, Mary, Alan Pulverness dan Melanie Williams. 2005. The TKT. Teaching Knowledge Test Course. Cambridge. Cambridge University Press.

Watkins, peter. 2005. Learning To Teach English. A Practical Introduction For New Teachers. Addlestone. Delta Publishing.

Willis, Jane. 2003. A Framework For Task-Based Learning. Malaysia. Pearson Education Limited.


       tanggal 16 Maret 2010, jam 8.38 am


http://www.scribd.com/doc/393072/The-Art-of-Teaching, tanggal 3 April 2010, jam 12.30 am

http://www.scribd.com/doc/11631074-3/ Learning-Styles, tanggal 8 April 2010, jam 7.20 am
       tanggal 8 April 2010, jam 7.33 pm



http://id.wikipedia.org/wiki/Pembelajaran, tanggal 9 April, jam 5. 29 pm

http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php, tanggal 9 April 2010, jam 5. 17 pm

http://id.wikipedia.org/wiki/Pembelajaran, tanggal  9 April 2010, jam 5.29 pm